Rabu, 18 Mei 2011

REWARD AND PUNISHMENT

Pendidikan adalah hak anak yang menjadi kewajiban atas orangtua. Ia adalah hibah atau hadiah. Hal ini telah ditegaskan oleh nabi SAW melalui sabda beliau, ”Mereka itu disebut oleh Allah sebagai abrâr (orang-orang yang baik) karena mereka berbakti kepada orang tua dan anak. Sebagaimana kamu mempunyai hak atas anakmu, maka anakmu juga mempunyai hak atasmu.” Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adab al-Mufrad.

Peringatan dan perbaikan terhadap anak bukanlah tindakan balas dendam yang didasari amarah, melainkan suatu metode pendidikan yang didasari atas rasa cinta dan kasih sayang. Ibnu Jazzar al-Qairawani menjelaskan tentang perbaikan anak sejak dini, “Sesungguhnya masa kanak-kanak adalah masa terbaik bagi pendidikan. Apabila kita dapati sebagian anak mudah dibina dan sebagian lain sulit dibina, sebagian giat belajar dan sebagian lain sangat malas belajar, sebagian mereka belajar untuk maju dan sebagian lain belajar hanya untuk terhindar dari hukuman.”

Sebenarnya sifat-sifat buruk yang timbul dalam diri anak di atas bukanlah lahir dan fitrah mereka. Sifat-sifat tersebut terutama timbul karena kurangnya peringatan sejak dini dari orangtua dan para pendidik. Semakin dewasa usia anak, semakin sulit pula baginya untuk meninggalkan sifat-sifat buruk. Banyak sekali orang dewasa yang menyadari keburukan sifat-sifatnya, tapi tidak mampu mengubahnya. Karena sifat-sifat buruk itu sudah menjadi kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan. Maka berbahagialah para orangtua yang selalu memperingati dan mencegah anaknya dari sifat-sifat buruk sejak dini, karena dengan demikian, mereka telah menyiapkan dasar yang kuat bagi kehidupan anak di masa mendatang.”
Merupakan kesalahan besar apabila menyepelekan kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan anak, karena kebakaran yang besar terjadi sekalipun berawal dari api yang kecil. Maka bila orangtua mendapati anaknya melakukan kesalahan, seperti berkata kasar misalnya, hendaknya langsung memperingatinya.

Setelah mengetahui arti penting peringatan dan perbaikan bagi anak, maka para orangtua dan pendidik harus mengerti metode yang diajarkan Rasulullah SAW dalam peringatan dan perbaikan anak. Dalam dunia pendidikan, metode ini disebut dengan metode penghargaan (reward) dan hukuman (punishement). Dengan metode tersebut diharapkan agar anak didik dapat termotivasi untuk melakukan perbuatan positif dan progresif.

Pada sisi lain, pendidikan anak dengan metode pemberian penghargaan dan hukuman banyak disepelekan oleh para orang tua dan pendidik, karena sudah begitu biasa dilakukan. Sehingga kententuan dan aturan yang ada pun dilupakan bahkan banyak yang tidak menyadari kalau hal yang dianggap sepele itu memiliki aturan. Padahal, kekeliriun pada saat menerapkan metode pendidikan ini, bisa berakibat fatal sehingga merusak kepribadian anak yang sebelumnya sudah terbentuk dengan baik.

B. KONSEP PEMBERIAN PENGHARGAAN DAN HUKUMAN

Salah satu teknik atau metode pendidikan Islam adalah pendidikan dengan pemberian penghargaan dan hukuman. Penghargaan atau hadiah dalam pendidikan anak akan memberikan motivasi untuk terus meningkatkan atau paling tidak mempertahankan prestasi yang telah didapatnya, di lain pihak temannya yang melihat akan ikut termotivasi untuk memperoleh hal yang sama. Sedangkan hukuman atau sanksi sangat berperan penting dalam pendidikan anak sebab pendidikan yang terlalu lunak akan membentuk anak kurang disiplin dan tidak mempunyai keteguhan hati.

Sudah menjadi tabiat manusia memiliki kencendrungan kepada kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu pendidikan Islam berupaya mengembangkan manusia dalam berbagai jalan kebaikan dan jalur keimanan. Demikian pula pendidikan Islam berupaya menjauhkan manusia dari keburukan dengan segala jenisnya. Jadi tabiat ini merupakan kombinasi antara kebaikan dan keburukan, maka tabiat baik perlu diarahkan dengan memberikan imbalan, penguatan dan dorongan, sedangkan tabiat buruk perlu dipagari dan dicegah. Cara pengarahan ini dikenal dalam al-Qur’an dengan metode targhib dan tarhib.
Targhîb dan tarhîb merupakan salah satu teknik pendidikan yang bertumpu pada fitrah manusia dan keiginannya pada imbalan, kenikmatan dan kesenangan. Metode ini pun bertumpu pada rasa takut mausia terhadap hukuman, kesulitan dan akibat buruk. Tekhnik imbalan (targhib) diisyaratkan Allah dalam Surat Ali Imran ayat 133:

”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”

Adapun tekhnik hukuman (tarhib) diungkapkan dalam Firman Allah Swt salah satunya pada surat at-Tahrim ayat 6 sebagai berikut:

”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…”.

C. Pandangan Pakar Pendidikan Islam Tentang Penghargaan dan Hukuman

1. Pandangan Imam al-Ghazali

Menurut al-Ghazali hendaknya para guru memberikan nasehat kepada siswanya dengan kelembutan. Guru di tuntut berperan sabagai orang tua yang dapat merasakan apa yang dirasakan anak didiknya, jika anak memperlihatkan suatu kemajuan, seyogianya guru memuji hasil usaha muridnya, berterima kasih padanya, dan mendukungnya terutama didepan teman-temannya.
Guru perlu menempuh prosedur yang berjenjang dalam mendidik dan menghukum anak saat dia melakukan kesalahan. Apabila pada suatu kali anak menyalahi perilaku terpuji, selayaknya pendidik tidak membongkar dan membeberkan kesalahan-kesalahannya itu. Mengungkapan rahasianya itu mungkin akan membuatnya semakin berani melanggar. Jika anak mengulangi kesalahan yang sama, tegurlah dengan halus dan tunjukkan urgensi kesalahannya. Al-Ghazali juga mengingatkan bahwasanya menegur dan mencela secara berkesinambungan dan mengungkit-ungkit kesalahan yang dilakukannya membuat anak menjadi pembangkang. Sehubungan dengan hal tersebut Al-Ghazali menegaskan ”Jangan terlampau banyak mencela setiap saat karena perkataan tidak lagi berpengaruh dalam hatinya. Hendaknya guru atau orang tua menjaga kewibawaan nasehatnya.”


2. Pandangan Ibnu Khaldun

Ibn Khaldun mengemukakan masalah imbalan dan hukuman di dalam bukunya al-Muqaddimah, beliau tidak menyebutkan selain seorang pendidik harus mengetehui cara pertumbuhan akal manusia yang bertahap hingga ia mampu mensejalankan pertumbuhan itu dengan pengajarannya terhadap anak didik. Ia menasehatkan agar tidak kasar dalam memperlakukan anak didik yang masih kecil, mencubit tubuh dalam pengajaran merusak anak didik, khususnya anak kecil.

Perlakuan kasar dan keras terhadap anak kecil dapat menyebabkan kemalasan dan mendorong mereka untuk berbohong serta memalingkan diri dari ilmu dan pengajaran. Oleh karena itu pendidik harus memperlakukan anak didik dengan kelembutan dan kasih sayang serta tegas dalam waktu-waktu yang diutuhkan untuk itu.

3. Pandangan Ibnu Jama’ah

Pemberian imbalan lebih kuat dan lebih berpengaruh terhadap pendidikan anak dari pada pemberian hukuman. Sanjungan dan pujian guru dapat mendorong siswanya untuk meraih keberhasilan dan prestasi yang lebih baik. Ibnu Jama’ah lebih memprioritaskan imbalan, anggapan baik, pujian dan sanjungan. Hal ini perlu dijelaskan oleh guru bahwa pujian itu disebabkan oleh upaya dan keunggulan siswa tersebut, sehingga siswa dapat memahaminya.

Ibnu Jama’ah sangat menghindar dari penerapan hukuman yang dapat menodai kemuliaan manusia dan merendahkan martabatnya. Jadi hukuman itu merupakan bimbingan dan pengarahan perilaku serta pengendaliannya dengan kasih sayang. Hukuman perlu diberikan dengan landasan pendidikan yang baik dan ketulusan dalam bekerja, bukan berlandaskan kebencian dan kemarahan.


D. PRINSIP-PRINSIP PEMBERIAN PENGHARGAAN DAN HUKUMAN

1. Prinsip-Prinsip Pemberian Penghargaan

Pertama, penilaian didasarkan pada ’perilaku’ bukan ’pelaku’. Untuk membedakan antara ’pelaku’ dan ’perilaku’ memang masih sulit, terutama bagi yang belum terbiasa. Apalagi kebiasaan dan presepsi yang tertanam kuat dalam pola pikir kita yang sering menyamakan kedua hal tersebut. Istilah atau panggilan semacam ’anak shaleh’, anak pintar’ yang menunjukkan sifat ’pelaku’ tidak dijadikan alasan peberian penghargaan karena akan menimbulkan persepsi bahwa predikat ’anak shaleh’ bisa ada dan bisa hilang. Tetapi harus menyebutkan secara langsung perilaku anak yang membuatnya memperoleh hadiah. Jadi komentar seperti ”Kamu dikasih hadiah karena sebulan ini kamu benar-benar jadi anak shaleh”, harus dirubah menjadi ”Kamu diberi hadiah bulan ini karena kerajinan kamu dalam melaksanakan shalat wajib”.

Kedua, pemberian penghargaan atau hadiah harus ada batasnya. Pemberian hadiah tidak bisa menjadi metode yang dipergunakan selamanya. Proses ini cukup difungsikan hingga tahapan penumbuhan kebiasaan saja. Manakala proses pembiasaan dirasa telah cukup, maka pemberian hadiah harus diakhiri. Maka hal terpenting yang harus dilakukan adalah memberikan pengertian sedini mungkin kepada anak tentang pembatasan ini.

Ketiga, penghargaan berupa perhatian. Alternatif bentuk hadiah yang terbaik bukanlah berupa materi, tetapi berupa perhatian baik verbal maupun fisik. Perhatian verbal bisa berupa komentar-komentar pujian, seperti, ’Subhanallah’, Alhamdulillah’, indah sekali gambarmu’. Sementara hadiah perhatian fisik bisa berupa pelukan, atau acungan jempol.

Keempat, dimusyawarahkan kesepakatannya. Persepsi umum para orang dewasa, kerap menyepelekan dan menganggap konyol celotehan anak. Bahwa anak suka bicara ceplas-ceplos dan mementingkan diri sendiri memanglah benar, tetapi itu bisa diatasi dengan beberapa kiat tertentu. Setiap anak yang ditanya tentang hadiah yang dinginkan, sudah barang tentu akan menyebutkan barang-barang yang ia sukai. Maka disinilah ditunutut kepandaian dan kesabaran seorang guru atau orang tua untuk mendialogkan dan memberi pengertian secara detail sesuai tahapan kemamuan berpikir anak, bahwa tidak semua keinginan kita dapat terpenuhi.

Kelima, distandarkan pada proses, bukan hasil. Banyak orang lupa, bahwa proses jauh lebih penting daripada hasil. Proses pembelajaran, yaitu usaha yang dilakukan anak, adalah merupakan lahan perjuangan yang sebenarnya. Sedangkan hasil yang akan diperoleh nanti tidak bisa dijadikan patokan keberhasilannya. Orang yang cenderung lebih mengutramakan hasil tidak terlalu mempermasalahkan apakah proses pencapaian hasil tersebut dilakukan secara benar atau salah, halal atau haram.
Sebuah contoh bisa dilahat pada sekolah yang membuat buku penilaian terhadap aktifitas shalat para siswa SD selama berada di rumah. Pihak sekolah tidak memiliki cara untuk mengetahui kebenaran pengisian buku tersebut. Pihak sekolah tidak merasa penting menilai alur proses yang terjadi dalam menumbuhkan kebiasaan siswanya shalat, tetapi hanya menstandarkan pemberian hadiah pada hasil saja, yaitu bukti yang tertera dalam buku pemantauan shalat tersebut.


2. Prinsip-Prinsip Pemberian Hukuman

Pertama, kepercayaan terlebih dahulu kemudian hukuman. Metode terbaik yang tetap harus diprioritaskan adalah memberikan kepercayaan kepada anak. Memberikan kepercayaan kepada anak berarti tidak menyudutkan mereka dengan kesalahan-kesalahannya, tetapi sebaliknya kita memberikan pengakuan bahwa kita yakin mereka tidak berniat melakukan kesalahan tersebut, mereka hanya khilaf atau mendapat pengaruh dari luar.

Memberikan komentar-komentar yang mengandung kepercayaan, harus dilakukan terlebih dahulu ketika anak berbuat kesalahan. Hukuman, baik berupa caci maki, kemarahan maupun hukuman fisik lain, adalah urutan prioritas akhir setelah dilakukan berbagai cara halus dan lembut lainnya untuk memberikan pengertian kepada anak.

Kedua, hukuman distandarkan pada perilaku. Sebagaimana halnya pemberian hadiah yang harus distandarkan pada perilaku, maka demikian halnya hukuman, bahwa hukuman harus berawal dari penilaian terhadap perilaku anak, bukan ’pelaku’ nya. Setiap anak bahkan orang dewasa sekalipun tidak akan pernah mau dicap jelek, meski mereka melakukan suatu kesalahan.

Ketiga, menghukum tanpa emosi. Kesalahan yang paling sering dilakukan orangtua dan pendidik adalah ketika mereka menghukum anak disertai dengan emosi kemarahan. Bahkan emosi kemarahan itulah yang menjadi penyebab timbulnya keinginan untuk menghukum. Dalam kondisi ini, tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman yang menginginkan adanya penyadaran agar anak tak lagi melakukan kesalahan, menjadi tak efektif.

Kesalahan lain yang sering dilakukan seorang pendidik ketika menghukum anak didiknya dengan emosi, adalah selalu disertai nasehat yang panjang lebar dan terus mengungkit-ungkit kesalahan anak. Dalam kondisi seperti ini sangat tidak efektif jika digunakan untuk memberikan nasehat panjang lebar, sebab anak dalam kondisi emosi sedang labil, sehingga yang ia rasakan bukannya nasehat tetapi kecerewetan dan omelan yang menyakitkan.

Keempat, hukuman sudah disepakati. Sama seperti metode pemberian hadiah yang harus dimusyawarahkan dan didiologkan terlebih dahulu, maka begitu pula yang harus dilakukan sebelum memberikan hukuman. Adalah suatu pantangan memberikan hukuman kepada anak, dalam keadaan anak tidak menyangka ia akan menerima hukuman, dan ia dalam kondosi yang tidak siap. Mendialogkan peraturan dan hukuman dengan anak, memiliki arti yang sangat besar bagi si anak. Selain kesiapan menerima hukuman ketika melanggar juga suatu pembelajaran untuk menghargai orang lain karena ia dihargai oleh orang tuanya.

Kelima, tahapan pemberian hukuman. Dalam memberikan hukuman tentu harus melalui beberapa tahapan, mulai dari yang teringan hingga akhirnya jadi yang terberat. Untuk itu kita perlu merujuk kepada al-Qur’an, seperti apa konsep tahapan hukuman yang dibicarakan disana. Salah satu jenis kesalahan yang ditereangkan secara jelas tahapan hukumannya adala mengenai istri nusyuz.
Difirmankan Allah dalam surat An-Nisa ayat 34:

…wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Adapun Ibnu Jama’ah memandang bahwa hukuman kependidikan dapat diberikan dalam empat tahapan. Jika siswa melakukan perilaku yang tidak dapat diterima, guru dapat mengikuti empat tahapan berikut:

a. Melarang perbuatan itu didepan siswa yang melakukan kesalahan tanpa menyebutkan namanya

b. Jika anak tidak menghentikan, guru dapat melarangnya secara sembunyi-sembunyi, misal dengan isyarat.

c. Jika anak tidak juga menghentikannya, guru dapat melarangnya secara tegas dan keras, agar yang dia dan teman-temannya menjauhkan diri dari perbuatan semacam itu.

d. Jika anak tidak kunjung menhentikannya, guru dapat mengusirnya dan tidak memperdulikannya.

3. Keseimbangan Penghargaan dan Hukuman

Segala sesuatu perlu ukuran, perlu keseimbangan. Yaitu proporsi ukuran yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Belum tentu ukuran tersebut harus berbagi sama. Keseimbangan imbalan dan hukuman pun tidak berarti harus diberikan dalam porsi sama, satu-satu.

Yang akan dipakai sebagai standar keseimbangan adalah sama seperti standar yang dipergunakan Allah SWT dalam memberikan pahala dan dosa bagi hamba-hambaNya. Seperti kita ketahui, Allah menjanjikan pahala bagi manusia, untuk sekedar sebuah niat berbuat baik. Manakala niat itu diwujudkan dalam bentuk sebuah amal, Allah akan membalasnya dengan pahala yang bukan hanya satu, melainkan berlipat ganda. Sebaliknya, Allah mempersulit pemberian dosa bagi hambaNya. Nita untuk bermaksiat belumlah dicatat sebagai dosa, kecuali niat itu terelaksana, itupun bisa segera Dia hapuskan ketika kita segera beristigfar.

Keseimbangan inilah yang harus kita teladani dalam memberikan imbalan dan hukuman kepada anak. Kita harus mengutamakan dan mempermudah memberikan penghargaan dan hadiah kepada anak dan meminimalkan pemberian hukuman.

Metode pemberian hukuman adalah cara tekhir yang dilakukan, saat sarana atau metode lain mengalami kegagalan dan tidak mencapai tujuan. Saat itu boleh melakukan penjatuhan hukuman. Dan ketika menjatukan hukuman harus mencari waktu yang tepat serta sesuai dengan kadar kesalahan yang dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar