Rabu, 18 Mei 2011

REWARD AND PUNISHMENT

Ditinjau dari perspektif pendidik, Reward & Punishment bisa dipandang sebagai salah satu alat pendidikan yang dapat digunakan pendidik untuk menyampaikan materi (bahan) pendidikan kepada peserta didik. Dalam perspektif ini kita mengasumsikan bahwa pendidiklah yang aktif menggunakannya sebagai alat, dan peserta didik berada dalam posisi pasif. Hal ini utamanya terjadi pada peserta didik tingkat awal. Tetapi jika kita memandangnya dari perspektif peserta didik, maka Reward & Punishment adalah metode yang dapat dia gunakan mendorong (memotivasi) dirinya dalam menguasai materi pendidikan. Di sini peserta didik berada pada posisi aktif, dan lazimnya berada dalam status pendidikan tingkat menengah dan tinggi, dimana peserta didik akan menggunakan metoda Reward & Punishment dengan tujuan memaksimalisir perolehan Reward dan meminimalisir Punishment.
Akan tetapi, ‘Abdurrahman al-Nahlawi memandang metode sebagai salah satu alat pendidikan.

Ada dua jenis alat dalam penilaiannya.
Pertama, wasa’ith al-tarbiyah yaitu, alat-alat material atau manusia yang mempunyai pengaruh terhadap pendidikan, seperti pendidik, keluarga, madrasah, masjid, san lain-lain.
Kedua, wasa’il al-tarbiyah atau alat-alat maknawi psikis, yaitu metode-metode yang digunakan dalam menyampaikan ilmu. Al-Nahlawi kemudian membagi metode pendidikan menjadi dua, yang pertama dia sebut alat preventif (termasuk perintah, nasihat, dorongan, dan pembiasaan, dimana dorongan dapat dipandang sebagai salah satu bentuk reward) dan yang kedua alat kuratif (termasuk larangan, ancaman, dan hukuman).,
Rasulullah s.a.w. mencontohkan sejumlah metode dalam penyampaian pendidikan Islam, termasuk di dalamnya metode Reward & Punishment.
Dalam ayat 31 surat an-Najm dikemukakan adanya metode pujian bahwa orang-orang yang berbuat baik akanmendapatkan kebaikan pula dari Allah yang bertujuan memberikan kegembiraan kepada peserta didik (manusia) sebelum memulai kehidupan selanjutnya (pembelajaran). Dengan kata lain metode ini bertujuan merangsang motivasi peserta didik (manusia) untuk lebih bergairah dan bersemangat dalam mengikuti (kehidupan) pembelajaran atau proses pendidikan yang dia terima.

Dalam Psikologi Islam, motivasi dimaknai sebagai kunci utama dalam melahirkan dan menafsirkan perbuatan manusia yang disebut niyyah dan ‘ibadah. Niyyah merupakan pendorong utama manusia untuk berbuat atau beramal, sedangkan ‘ibadah merupakan tujuan manusia dalam berbuat atau beramal. Maka perbuatan manusia, termasuk dalam proses pendidikan, berada pada lingkaran niyyah dan ‘ibadah.
I. TERJEMAHAN
“Dan hanya kepunyaan ALLAH-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang melakukan kejahatan dengan hukuman atas perbuatan mereka sendiri, dan supaya membalas orang-orang yang melakukan kebaikan dengan pahala yang lebih baik”. (Q.S. An-Najm [53]:31)
Secara umum ayat ini memaparkan:
a. Segala sifat kesempurnaan disandang Allah SWT semata dan semuanya hanya milik Allah.
Pengakuan akan kepemilikan Allah atas apa yang ada di langit dan di bumi tersebut akan memberikan kekuatan dan pengaruh terhadap masalah akhirat yang ada dalam hati manusia. Zat yang menciptakan dan menakdirkan akhirat adalah zat yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Maka, dialah yang berkuasa untuk membalas. Dialah semata yang menguasai segala sarananya. Allah swt yang memiliki kesemuanya itu, antara lain ialah orang yang tersesat dan orang yang mendapat petunjuk. Disini Allah memiliki peran yang sangat berkuasa, karena melirik pada kata “apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi”. Berarti memiliki makna bahwa apapun yang ada di langit dan apaun yang ada di bumi semua Allah yang menguasainya termasuk makhluk seperti kita.

b. Kebebasan memilih sesuatu hal perbuatan
Allah sendiri yang menciptakan serta berhak mengaturnya semua berada di dalam genggaman kekuasaannya. Sehingga kalau dia menghendaki, niscaya semua akan beriman dan memeluk agamanya, tetapi itu tidak dia kehendaki, karena dia telah memberi manusia kebebasan memilih dam supaya Dia memberi balasan yakni hukuman (punishment) yang setimpal kepada orang-orang yang berbuat jahat disebabkan apa yang telah mereka kerjakan dan member balasan berupa anugerah-Nya (reward) kepada orang-orang yang berbuat baik dengan ganjaran yang lebih baik yakni surge yang tidak terlukiskan dengan kata-kata keindahan dan kenikmatannya.

Itulah salah satu reward (ganjaran) dan punishment (hukuman) bagi manusia di dunia ini. Siapa yang berbuat baik maka akan mendapatkan reward berupa ganjaran dari Allah dan sebaliknya, siapa yang berbuat jahat maka akan mendapatkan punishment berupa hukuman atau teguran dari Allah supaya cepat bertobat dan meninggalkan kebatilan.

Perlu diketahui bahwa dalam surat an-Najm ayat 31 ini memberi informasi bahwa apabila ingin hidup baik dan tenang maka berbuat baiklah dan jauhi kejahatan, dan apabila ingin hidupnya berada dalam kegelisahan maka berbuatlah kejahatan, karena Allah tidak memaksa silahkan lakukan apa saja yang mau dilakukan asal tanggung akibatnya, krena dalam dalam ayat 38-nya mengandung arti bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.

c. Kabar dan informasi bagi manusia
Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya bahwa semua yang dilakukan manusia di dunia tanpa terkecuali, sekecil apapun, memiliki konsekuensi di akhirat kelak. Semua kebaikan memperoleh ganjaran positif berupa pahala, dan semua hal buruk yang dilakukan akan menimbulkan dosa dan mendapat hukuman yang setimpal. Allah SWT memastikan hal itu dalam berbagai firman-Nya. Seperti:

Dan tidaklah kamu berada dalam suatu keadaan dan tidak dalam membaca suatu ayat dari Al Qur'an dan kamu tidaklah mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Q.S. 10 : 61)

Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (Q.S. 24 : 24)

Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. (Q.S. 36 : 65)

Ketiga ayat di atas menjadi landasan bagaimana proses kehidupan umat manusia senantiasa berlangsung di bawah pengawasan Penciptanya, dan segala yang dilakukan manusia sepanjang hidupnya adalah bentuk aktivitas yang harus dipertanggungjawabkan dan pasti akan memperoleh balasan.

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (Q.S. 99 :7-8)

Bentuk pertanggungjawaban yang dimaksud akan berimplikasi kepada bentuk paling akhir dari penghargaan dan hukuman yang akan diterima manusia kelak, yaitu sorga sebagai reward dan neraka sebagai punishment.

d. Tercantumnya tuntutan dan tuntunan
Dalam al-Qur’an berulang-ulang disebutkan bahwa kerjakanlah kebaikan dan jauhi kebathilan agar selamat dunia dan akhirat. Itulah alas an kenapa Rasulullah saw menyeru umatnya untuk beribadah kepada Allah, menyeru melakukan kebaikan dan meninggalkan perbuatan yang jahat. Rasulullah sebagai makhluk yang dianggap sebagai panutan karena kemuliaan akhlak dan prilakunya sehari-hari. Pantaslah beliau dijadikan acuan dalam sunahnya setiap apa yang beliau ucapkan, yang beliau kerjakan baik amalan-amalan siang dan malam dijadikan sebagai sunnah yang mendapatkan sebuah reward berupa pahala sunnah.

Dalam ayat ini terdapat tuntutan yaitu siapa yang ingin hidupnya senang dan damai di ridhai Allah maka kerjakan kebaikan, tetapi apabila kesenangan dan kedamaian itu tidak diharapkan kerjakanlah kejahatan apabila mampu mendapatkan punishment dari Allah berupa hukuman atau teguran.

Tuntunannya terdapat beberapa pernyataan yaitu: Pertama, bahwa Allah-lah yang mempunyai semua ini termasuk yang ada dilangit dan dibumi serta isinya, maka janganlah sombong dan merasa paling benar dan berkuasa. Kedua, balasan kepada orang yang berbuat jahat, sesuai dengan apa yang dilakukannya yaitu berupa hukuman(punishment). Ketiga,balasan kebaikan bagi orang-orang yang berbuat baik. Jadi janganlah berbuat kejahatan tapi berusahalah berbuat kebaikan, karena sedikitpun kebaikan pasti akan dapat balasannya.


IV. TAFSIR SECARA KONTEKSTUAL
Pada dasarnya pendidikan dalam Islam berlangsung seumur hidup, sehingga tidak salah menyebut bahwa proses kehidupan umat manusia adalah sama dan sebangun dengan proses pendidikan itu sendiri. Sebagaimana proses kehidupan memerlukan Pengawas, mempersyaratkan pertanggungjawaban dan memperoleh balasan, demikian pulalah adanya proses pendidikan. Maka metode reward dan punishment ini dapat dilakukan pada semua manusia sebagai peserta didik dan tidak menutup kemungkinan pula bagi seorang pendidik.

a. Mengabarkan bahwa Allah yang mengatur dan yang memiliki semuanya (the information of technic for all).

Kalimat menjelaskan
Sesungguhnya apa saja yang ada dilangit dan apa pun yang ada di bumi semuanya berada dibawah genggaman dan kekuasaan Allah. Dialah yang telah menciptakan, memiliki dan mengaturnya. Maka Dialah Yang Maha Tahu tentang semua itu tanpa ada sesuatu pun urusan yang tersembunyi bagi Allah. Oleh karena itu, kita jangan berprasangka bahwa Allah melalaikan urusan kita semua. Allah pasti akan memberi balasan kepada setiap jiwa sesuai dengan kebaikan atau keburukan yang manusia lakukan.

Dalam kalimat ini, Allah mengabarkan bahwa Dialah yang memiliki langit dan bumi. Dan sesungguhnya, Dia mahakaya, tidak membutuhkan pihak lain. Yang Maha menetapkan hukum pada hamba-hamba-Nya dengan adil dan yang telah menciptakan makhluk dengan benar .

Apabila di qiaskan dalam aktifitas pengajaran di sekolah, guru mempunyai peran penting dan berkuasa dalam kelas, mulai dari penyampaian materi sampai evaluasi semuanya di atur dan di manage secara baik lewat rancangan-rancangan materi yang telah disusun secara terstruktur dan sistematis. Apabila siswa belajar dengan rajin dan selalu berbuat baik, maka siswa tersebut akan mendapat balasan dari gurunya berupa nilai yang baik.

Ayat ini tidak memandang kepada siapa-siapa, yang dititikberatkan hanya kepada orang yang memang mau mendengarkan dan menerima serta mengakui bahwa al-quran sebagai wahyu dan pedoman bagi umat manusia. Maksud ”memiliki” dalam ayat 31 ini selain yang ada dilangit dan dibumi salah satunya ialah orang yang tersesat dan orang yang mendapat petunjuk, karena Dia menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya pula .

Pada ayat sebelumnya (ayat 30) menjelaskan bahwa Allah lebih mengetahui siapa yang sesat dan siapa yang berada dalam petunjuk . Ini menandakan bahwa manusia bukan berarti menyatakan hak milik mutlak pribadinya tetapi manusia itu adalah yang dipunyai bukan mempunyai, manusia hidup di dunia hanyalah sebatas memiliki bukan memiliki sebenarnya karena Allah-lah yang maha memiliki semuanya. Maka manusia hidup di dunia jangan umaing dan umagung karena ini semua milik Allah SWT. Dapat juga dipahami sebagai penjelasan lebih lanjut tentang pengetahuan Allah menyangkut siapa yang sesat dan siapa yang berada dalam petunjuk yang disebut dalam penggalan ayat lalu. Seakan-akan kedua penggalan itu menyatakan Allah mengetahui kedua pihak, betapa pun tidak, sedang dia memiliki apa yang dilangit dan dibumi.

Atau dapat juga dipahami, penggalan ayat diatas merupakan uraian baru untuk mengisyaratkan bahwa perintah mengabaikan para pembangkang itu, bukanlah berarti bahwa Allah pun akan mengabaikan mereka tanpa memberi balasan yang setimbal, karena Allah Maha Kuasa, dia sendiri yang memiliki segala sesuatu di langit dan di bumi.



b. Pemberian hukuman (punishment)
Kalimat Dari sudut kepemilikan Allah tersebut, terwujudlah pembalasan yang sempurna dan adil, Supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang melakukan kejahatan. Pertimbangan dalam pemberian punishment adalah cobaan kepada umat manusia dalam kapasitasnya sebagai peserta didik, apakah ia dapat melatih kesabarannya jika menemui kegagalan atau kendala dalam proses pembelajaran. Dapatkah ia bersikap ridha? Atau mampukah ia mengendalikan diri dengan bersyukur jika cobaan yang datang adalah dalam bentuk prestasi yang menggembirakan. Salah satu kewajiban peserta didik menurut Al-Ghazali adalah membersihkan jiwa dari sifat-sifat negatif.
Hukuman dengan cara yang berlebihan dan diikuti oleh tindakan kekerasan tidak pernah diinginkan oleh siapapun, apa lagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Namun tidak bisa ditampik, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan.

Hukuman tidak mutlak diperlukan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdullah Nasih Ulwan bahwa untuk membuat anak jera, pendidik harus berlaku bijaksanan dalam memilih dan memakai metode yang paling sesuai. Di antara mereka ada yang cukup dengan teladan dan nasehat saja, sehingga tidak perlu hukuman baginya. Tetapi, manusia itu tidak sama seluruhnya, diantara mereka ada pula yang perlu dikerasi atau dihukum yaitu mereka yang berbuat kesalahan.

Asumsi yang berkembang selama ini di masyarakat adalah setiap kesalahan harus memperoleh hukuman; Tuhan juga menghukum setiap orang yang bersalah. Dari satu jalur logika teori itu ada benarnya. Memang logis, setiap orang yang bersalah harus mendapat hukuman; setiap yang berbuat baik harus mendapat ganjaran. Sebenarnya hukuman tidak selalu harus berkonotasi negatif yang berakibat sengsara bagi terhukum tetapi dapat juga bersifat positif.
Karena itu, mengapa orang tidak mengambil teori yang lebih positif? Bukankah Allah selalu mengampuni orang yang bersalah apabila dia bertaubat pada-Nya? Allah juga lebih mendahlukan kasih-Nya dan membelakangi murka-Nya. Dalam Qs. Ali Imran: 134 Allah memuji orang yang sanggup menahan marah dan suka memberi maaf. Dan dalam satu hadist, nabi Muhammad Saw mengajarkan bahwa Allah menyenangi kelembutan dalam semua persoalan (HR. Bukhari).
Dengan demikian kita bisa menyepakati bahwa kesalahan yang dilakukan oleh murid terkadang pantas mendapat hukuman. Namun jenis hukuman itulah yang seharusnya disesuaikan dengan lingkungan sekolah sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran, bukan penghakiman.
Dalam teori belajar (learning theory) yang banyak dianut oleh para behaviorist, hukuman (punishment) adalah sebuah cara untuk mengarahkan sebuah tingkah laku agar sesuai dengan tingkah laku yang diharapkan. Dalam hal ini, hukuman diberikan ketika sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan ditampilkan oleh orang yang bersangkutan atau orang yang bersangkutan tidak memberikan respon atau tidak menampilkan sebuah tingkah laku yang diharapkan.
Sebagai contoh, di sekolah-sekolah berkelahi adalah sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan dan jika tingkah laku ini dilakukan oleh seorang siswa maka salah satu cara untuk menghilangkan tingkah laku itu adalah dengan hukuman. Selain itu, mengerjakan tugas sekolah adalah sebuah tingkah laku yang diharapkan, dan jika seorang siswa lalai dan tidak mengerjakan tugas sekolah maka agar siswa itu dapat menampilkan tingkah laku yang diharapkan maka hukuman adalah satu cara yang digunakan untuk mengatasinya.
Hukuman diartikan sebagai salah satu tehnik yang diberikan bagi mereka yang melanggar dan harus mengandung makna edukatif, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mdzakkir. Misalnya, yang terlambat masuk sekolah diberi tugas untuk membersihkan halaman sekolah, yang tidak masuk kuliah diberi sanksi membuat paper. Sedangkan hukuman pukulan merupakan hukuman terakhir bilamana hukuman yang lain sudah tidak dapat diterapkan lagi. Hukuman tersebut data diterapkan bila anak didik telah beranjak usia 10 tahun, tidak membahayakan saraf otak peserta didik, serta menjadikan efek negatif yang berlebihan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw yang artinya
“Dari Amr bin Syu’aib ayahnya dari kakeknyaK bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Dawud).
Paul Chanche mengartikan hukuman adalah
“The procedure of decreasing the likelihood of a behavior by following it with some azersive consequence”
(Prosedur penurunan kemungkinan tingkah laku yang diikuti dengan konsekuensi negatif)
Decreasing the likelihood yang dimaksud di sini adalah penurunan kemungkinan dan tingkah laku dan some aversive concequence adalah konsekuensi negatif atau dampak yang tidak baik baik si pelanggar. Sebagai contoh, Ani tidak boleh menonton TV ketika maghrib tiba (dari jam 18.00-19.00). Apabila tetap menonton maka Ani akan di hukum tidak boleh menonton TV selama 3 hari. Tidak boleh menonton TV ketika maghrib tiba di sini sebagai prosedur atau aturan-aturan yang harus diikuti. Bentuk penurunan tingkah lakunya adalah boleh menonton TV selain di waktu itu, dan sebagai konsekuensi negatif apabila melanggar akan dihukum tidak boleh menonton TV selama 3 hari.
Jadi, hukuman di sini berlaku apabila seseorang merasa enggan untuk mengikuti suatu aturan yang berimbas pada penurunan tingkah laku.
Sedangkan M. Arifin telah memberi pengertian hukuman adalah:
“Pemberi rasa nestapa pada diri anak akibat dari kelasahan perbuatan atau tingkah laku anak menjadi sesuai dengan tata nilai yang diberlakukan dalam lingkungannya.”
Pendidik harus tahu keadaan anak didik sebelumnya dan sebab anak itu mendapat hukuman sebagai akibat dari pelanggaran atau kesalahannya. Baik terhadap aturan-aturan yang berlaku dalam lingkungan anak didik atau norma yang terdapat dalam ajaran agama Islam.Dalam menggunakan hukuman, hendaknya pendidik melakukannya dengan hati-hati, diselidiki kesalahannya kemudian mempertimbangkan akibatnya.
Penggunaan hukuman dalam pendidikan Islam kelihatannya mudah, asal menimbulkan penderitaan pada anak, tetapi sebenarnya tidak semudah itu tidak hanya sekedar menghukum dalam hal ini hendaknya pendidik bertindak bijaksana dan tegas dan oleh Muhammad Quthb dikatakan bahwa : “Tindakan tegas itu adalah hukuman”.
Dari beberapa pengertian di atas dapat kita ambil kesimpulan sementara bahwa hukuman dalam pendidikan Islam adalah salah satu cara atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau pendidik kepada seseorang yang menimbulkan dampak yang tidak baik (penderitaan atau perasaan tidak enak) terhadap anak didiknya berupa denda atau sanksi yang ditimbulkan oleh tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan agar anak didik menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya agar tidak mengulanginya lagi dan menjadikan anak itu baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Metode Punishment digunakan sesuai perbedaan tabiat dan kadar kepatuhan manusia terhadap prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah Islam. Pengaruh yang dihasilkannya tidaklah sama. Punishment bersandar pada dorongan rasa takut dan karena itu sifatnya negatif. Penerapan punishment ditujukan untuk memperbaiki peserta didik yang melakukan kesalahan sekaligus memelihara ketertiban dan disiplin peserta didik lainnya dari kemungkinan melakukan kesalahan yang sama. Karenanya dapat dikatakan bahwa punishment adalah alternatif terakhir setelah metode nasihat dan peringatan tidak berhasil memperbaiki peserta didik. Karena tujuan utama pemberian punishment ini adalah merubah dari perbuatan jelek menjadi baik. Dalam surat ar-Ra’d ayat 11 menyatakan bahwa



sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.

Dalam hal penerapan punishment, haruslah disadari bahwa peserta didik memiliki kesiapan yang berbeda-beda dalam hal kecerdasan ataupun respons yang dihasilkan dari penerapan punishment tersebut. Ada peserta didik bertemperamen tenang dan apa pula yang bertipe emosional, yang semuanya disebabkan oleh berbagai macam faktor, seperti genetika, lingkungan dan kematangan yang berbeda-beda. Berdasarkan perbedaan itu, maka berbeda pulalah jenis punishment yang diterapkan. Ada yang cukup dengan sindiran, ada yang perlu dipandang dengan muka masam, ada yang harus dibentak, dan ada pula yang perlu harus dipukul. Dalam hal ini prinsip logis yang harus ditetapkan, dalam arti punishment disesuaikan pula dengan jenis kesalahan. Ibn Khaldun mengemukakan bagaimana diperlukannya prinsip kehati-hatian dalam penerapan metode punishment ini terutama bagi peserta didik yang termasuk kategori anak-anak . Menurutnya, kesalahan dalam penerapan metode tersebut merupakan bentuk pengajaran yang merusak yang berimplikasi kepada hadirnya rasa rendah diri pada diri peserta didik, menumbuhkan kemalasan dan kebencian tanpa disadari, serta menyebabkan anak-anak tidak berani mengemukakan hal yang benar. Dengan demikian pendidik justru telah mendidik anak untuk berbohong. Semisal anak yang terlambat datang setelah mengemukakan alasan yang sebenarnya tetap saja dimarahi gurunya. Hasilnya, jika pada kesempatan lain ia kembali terlambat, ia akan mencari alasan lain yang “lebih masuk akal” agar tidak dimarahi, meski yang disampaikannya bukan hal yang sebenarnya. Keadaan ini lama kelamaan akan mengendap dalam alam bawah sadar anak dan berkembang menjadi kebiasaan baru baginya. Metode pendidikan yang salah seperti itu dalam skala massif telah menghasilkan bangsa yang tidak bisa dipercaya di seluruh dunia, yaitu bangsa Yahudi.

Berdasar hal itu Ibnu Khaldun menggagas, pendidik tidak boleh memberikan hukuman fisik lebih dari tiga kali kepada anak-anak kecil. Hanya saja tidak dijelaskan batasan tiga kali itu, apakah dalam satu tahun atau selama anak berada di bawah didikan guru tersebut. Senada dengan Ibn Khaldun, Al-Ghazali pun menegaskan bahwa saran dan nasehat akan lebih baik dari peringatan keras, sikap positif lebih efektif daripada caci-maki. Sebab saran dan kebaikan akan mendorong peserta didik memikirkan tingkah lakunya serta merenungkan nasehat pendidik, sebaliknya kritik yang kasar justru mempertipis rasa malu, mengundang perlawanan dan menyebabkan peserta didik menjadi keras hati. Adapun Rasulullah s.a.w. sendiri melarang memukul anak-anak di bawah usia 10 tahun, sebagaimana dapat difahami dari hadis hasan berikut yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Abu Daud Ibnu ‘Amr bin ‘Ash r.a.

“Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika enggan ketika mereka berusia sepuluh tahun , dan pisahkanlah antara mereka ketika mereka tidur.”
Dari hadits tersebut, apabila seorang anak yang mendekati akil balig, maka harus segera diperintahkan sholat. Apabila si anak belum juga mau melakukan sholat maka

c. Memotivasi dengan pemberian hadiah (reward)
Kalimat
memberikan pengertian bahwa adanya reward (balasan yang baik, penghargaan, hadiah) dalam pendidikan islam. Allah akan membalas kepada orang-orang yang berbuat baik. Maka kalimat ini perlu adanya penegasan dalam arti dengan apa Allah akan membalas maka setelah ahsanu ( ) disusul dengan kata yang maksud- nya adalah Allah akan membalas orang-orang yang berbuat baik dengan kebaikan pula, yaitu syurga. Maka balasan berupa syurga itulah yang dimaksud dengan reward dari Allah.

Sebelum lebih jauh membahas tafsir tentang metode reward dalam
Pendidikan islam alangkah lebih baiknya kita bahas dahulu pengertian dari reward.
a. Pengertian Reward
Secara bahasa, reward berarti hadiah, upah, ganjaran, atau penghargaan.
Secara Istilah, pemberian konsekuensi berupa hal yang menyenangkan untuk mengatur tingkah laku seseorang.
Dalam perspektif islam, reward muncul dengan beberapa istilah, antara lain ganjaran, balasan (QS. Al-Waqiah: 24), dan pahala.
Dilakukan sebagai usaha untuk memberikan sebuah motivasi dalam melakukan sesuatu sehingga siswa merasa adanya tantangan untuk melakukan respon positif.

b. Bentuk Reward
Penggunaan reward dapat dilakukan dengan dua bentuk, yaitu: berupa materi dan immateri.
Reward berupa materi yaitu reward yang diapresiasikan dengan berupa materi semata. Seperti cerita berikut ini.

Ibu Rini khawatir Lisa (anaknya) tidak naik kelas saat masih SD. Menjelang ujian akhir, ibu Rini menjanjikan Lisa sebuah komputer (reward) apabila dapat naik kelas. Dari kecil Lisa pun terbiasa untuk belajar demi mendapatkan hadiah, alhasil Lisa selalu naik kelas. Namun, saat Lisa kuliah di jurusan Ekonomi UI, ibunya tidak lagi menganggap bahwa Lisa memerlukan suatu “reward” agar ia mau belajar sungguh-sungguh. Ternyata, di tahun pertama kuliah, mata kuliah yang diikuti Lisa hampir tidak lulus semua. Lisa pun sama sekali tidak termotivasi untuk belajar dan memahami kuliah yang diikutinya. Ternyata, saat memilih jurusan kuliah, Lisa dijanjikan sebuah hadiah (reward) apabila ia dapat masuk ke fakultas Ekonomi UI.

Berdasarkan certa diatas bahwa pemberian reward berupa materi dapat memberikan masalah/ dampak baru bagi diri anak. Reward dengan komputer termasuk salah satu dari reward berupa materi

Sedangkan reward berupa immateri yaitu reward yang berupa non materi, melainkan lebih pada sebuah tanda penghargaan sebagai bukti atas prestasi atau apa yang telah dia lakukannya. Contohnya seperti pemberian piagam atau sertifikat kepada seorang siswa yang memiliki nilai istimewa.

c. Cara Pemberian Reward
Biasanya kata-kata memberikan reward terucap pada saat orang tua ingin menghilangkan kebiasaan kemalasaan atau untuk mendorong prestasi anak. Akan tetapi “Hati-hati dalam memberikan reward!”. Pemberian reward ini selain akan berdampak positif juga akan bisa berdampak negatif. Memang apabila anak dijanjikan sebuah reward berupa materi, anak akan merasa termotivasi, tapi setelah reward tidak diberikan lagi, maka si anak akan kehilangan semangatnya. Seperti contoh pada cerita diatas.
Pemberian reward dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Secara langsung (disegerakan)
Contoh: Ketika seseorang melakukan sesuatu hal yang positif dan sesuai dengan tujuan yang dimaksud. Maka penghargaan (reward) diberikan langsung kepadanya dengan segera. Contoh lain, siswa setelah melakukan presentasi maka guru dan teman yang lainnya memberikan tepuk tangan sebagai penghargaan bagi siswa yang telah melakukan presentasi.

2. Secara tidak langsung (ditunda)
Contoh: Seperti pada contoh diatas, reward diberikan apabila si anak telah dapat mencapai tujuan. Sebelum mencapai tujuan yang diharapkan maka reward belum bisa diberikan.
d. Tujuan dan Manfaat Pemberian Reward
Tujuan utama pemberian reward yaitu supaya anak merasa tertantang atau termotivasi untuk mendapatkan sesuatu hadiah. Banyak manfaat yang apabila reward tersebut diberikan secara efektif, diantarany yaitu:
1. Memberikan kegembiraan kepada peserta didik sebelum memulai pembelajaran,
2. Memotivasi peserta didik untuk bergairah dan bersemangat.
Dari uraian diatas jelas bahwa Allah dalam menciptakan sesuatu pasti ada sebab dan akibatnya. Seperti yang sedang kita bahas dalam makalah ini. Reward dan punishment merupakan salah satu metode untuk merubah prilaku dengan konsekuensi yang seimbang.

Dalam Q.S. Az-Zalzalah [99] ayat 7-8 berbunyi:



”Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”.
Bentuk pertanggungjawaban dimaksud akan berimplikasi kepada bentuk paling akhir dari penghargaan dan hukuman yang akan diterima manusia kelak, yaitu sorga sebagai reward dan neraka sebagai punishment

Dalam Hadits rasul juga tercantum berupa hukuman (punishment), yaitu“kalau salah seorang dari kalian (terpaksa harus) memukul, maka hendaklah tidak memukul bagian wajah” (HR. Abu Dawud)

Pendidikan Islam memiliki rangkaian unsur-unsur yang saling terkait yang diperlukan dalam mewujudkan keberhasilannya. Unsur-unsur tersebut antara lain tujuan, kurikulum, materi, metode, sarana, alat, dan pendekatan. Setiap unsur dapat dibagi lagi dalam rincian yang lebih detil, termasuk di dalamnya metode. Rasulullah s.a.w. mencontohkan sejumlah metode dalam penyampaian pendidikan Islam, termasuk di dalamnya metode Reward & Punishment.

REWARD AND PUNISHMENT

Pendidikan adalah hak anak yang menjadi kewajiban atas orangtua. Ia adalah hibah atau hadiah. Hal ini telah ditegaskan oleh nabi SAW melalui sabda beliau, ”Mereka itu disebut oleh Allah sebagai abrâr (orang-orang yang baik) karena mereka berbakti kepada orang tua dan anak. Sebagaimana kamu mempunyai hak atas anakmu, maka anakmu juga mempunyai hak atasmu.” Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adab al-Mufrad.

Peringatan dan perbaikan terhadap anak bukanlah tindakan balas dendam yang didasari amarah, melainkan suatu metode pendidikan yang didasari atas rasa cinta dan kasih sayang. Ibnu Jazzar al-Qairawani menjelaskan tentang perbaikan anak sejak dini, “Sesungguhnya masa kanak-kanak adalah masa terbaik bagi pendidikan. Apabila kita dapati sebagian anak mudah dibina dan sebagian lain sulit dibina, sebagian giat belajar dan sebagian lain sangat malas belajar, sebagian mereka belajar untuk maju dan sebagian lain belajar hanya untuk terhindar dari hukuman.”

Sebenarnya sifat-sifat buruk yang timbul dalam diri anak di atas bukanlah lahir dan fitrah mereka. Sifat-sifat tersebut terutama timbul karena kurangnya peringatan sejak dini dari orangtua dan para pendidik. Semakin dewasa usia anak, semakin sulit pula baginya untuk meninggalkan sifat-sifat buruk. Banyak sekali orang dewasa yang menyadari keburukan sifat-sifatnya, tapi tidak mampu mengubahnya. Karena sifat-sifat buruk itu sudah menjadi kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan. Maka berbahagialah para orangtua yang selalu memperingati dan mencegah anaknya dari sifat-sifat buruk sejak dini, karena dengan demikian, mereka telah menyiapkan dasar yang kuat bagi kehidupan anak di masa mendatang.”
Merupakan kesalahan besar apabila menyepelekan kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan anak, karena kebakaran yang besar terjadi sekalipun berawal dari api yang kecil. Maka bila orangtua mendapati anaknya melakukan kesalahan, seperti berkata kasar misalnya, hendaknya langsung memperingatinya.

Setelah mengetahui arti penting peringatan dan perbaikan bagi anak, maka para orangtua dan pendidik harus mengerti metode yang diajarkan Rasulullah SAW dalam peringatan dan perbaikan anak. Dalam dunia pendidikan, metode ini disebut dengan metode penghargaan (reward) dan hukuman (punishement). Dengan metode tersebut diharapkan agar anak didik dapat termotivasi untuk melakukan perbuatan positif dan progresif.

Pada sisi lain, pendidikan anak dengan metode pemberian penghargaan dan hukuman banyak disepelekan oleh para orang tua dan pendidik, karena sudah begitu biasa dilakukan. Sehingga kententuan dan aturan yang ada pun dilupakan bahkan banyak yang tidak menyadari kalau hal yang dianggap sepele itu memiliki aturan. Padahal, kekeliriun pada saat menerapkan metode pendidikan ini, bisa berakibat fatal sehingga merusak kepribadian anak yang sebelumnya sudah terbentuk dengan baik.

B. KONSEP PEMBERIAN PENGHARGAAN DAN HUKUMAN

Salah satu teknik atau metode pendidikan Islam adalah pendidikan dengan pemberian penghargaan dan hukuman. Penghargaan atau hadiah dalam pendidikan anak akan memberikan motivasi untuk terus meningkatkan atau paling tidak mempertahankan prestasi yang telah didapatnya, di lain pihak temannya yang melihat akan ikut termotivasi untuk memperoleh hal yang sama. Sedangkan hukuman atau sanksi sangat berperan penting dalam pendidikan anak sebab pendidikan yang terlalu lunak akan membentuk anak kurang disiplin dan tidak mempunyai keteguhan hati.

Sudah menjadi tabiat manusia memiliki kencendrungan kepada kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu pendidikan Islam berupaya mengembangkan manusia dalam berbagai jalan kebaikan dan jalur keimanan. Demikian pula pendidikan Islam berupaya menjauhkan manusia dari keburukan dengan segala jenisnya. Jadi tabiat ini merupakan kombinasi antara kebaikan dan keburukan, maka tabiat baik perlu diarahkan dengan memberikan imbalan, penguatan dan dorongan, sedangkan tabiat buruk perlu dipagari dan dicegah. Cara pengarahan ini dikenal dalam al-Qur’an dengan metode targhib dan tarhib.
Targhîb dan tarhîb merupakan salah satu teknik pendidikan yang bertumpu pada fitrah manusia dan keiginannya pada imbalan, kenikmatan dan kesenangan. Metode ini pun bertumpu pada rasa takut mausia terhadap hukuman, kesulitan dan akibat buruk. Tekhnik imbalan (targhib) diisyaratkan Allah dalam Surat Ali Imran ayat 133:

”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”

Adapun tekhnik hukuman (tarhib) diungkapkan dalam Firman Allah Swt salah satunya pada surat at-Tahrim ayat 6 sebagai berikut:

”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…”.

C. Pandangan Pakar Pendidikan Islam Tentang Penghargaan dan Hukuman

1. Pandangan Imam al-Ghazali

Menurut al-Ghazali hendaknya para guru memberikan nasehat kepada siswanya dengan kelembutan. Guru di tuntut berperan sabagai orang tua yang dapat merasakan apa yang dirasakan anak didiknya, jika anak memperlihatkan suatu kemajuan, seyogianya guru memuji hasil usaha muridnya, berterima kasih padanya, dan mendukungnya terutama didepan teman-temannya.
Guru perlu menempuh prosedur yang berjenjang dalam mendidik dan menghukum anak saat dia melakukan kesalahan. Apabila pada suatu kali anak menyalahi perilaku terpuji, selayaknya pendidik tidak membongkar dan membeberkan kesalahan-kesalahannya itu. Mengungkapan rahasianya itu mungkin akan membuatnya semakin berani melanggar. Jika anak mengulangi kesalahan yang sama, tegurlah dengan halus dan tunjukkan urgensi kesalahannya. Al-Ghazali juga mengingatkan bahwasanya menegur dan mencela secara berkesinambungan dan mengungkit-ungkit kesalahan yang dilakukannya membuat anak menjadi pembangkang. Sehubungan dengan hal tersebut Al-Ghazali menegaskan ”Jangan terlampau banyak mencela setiap saat karena perkataan tidak lagi berpengaruh dalam hatinya. Hendaknya guru atau orang tua menjaga kewibawaan nasehatnya.”


2. Pandangan Ibnu Khaldun

Ibn Khaldun mengemukakan masalah imbalan dan hukuman di dalam bukunya al-Muqaddimah, beliau tidak menyebutkan selain seorang pendidik harus mengetehui cara pertumbuhan akal manusia yang bertahap hingga ia mampu mensejalankan pertumbuhan itu dengan pengajarannya terhadap anak didik. Ia menasehatkan agar tidak kasar dalam memperlakukan anak didik yang masih kecil, mencubit tubuh dalam pengajaran merusak anak didik, khususnya anak kecil.

Perlakuan kasar dan keras terhadap anak kecil dapat menyebabkan kemalasan dan mendorong mereka untuk berbohong serta memalingkan diri dari ilmu dan pengajaran. Oleh karena itu pendidik harus memperlakukan anak didik dengan kelembutan dan kasih sayang serta tegas dalam waktu-waktu yang diutuhkan untuk itu.

3. Pandangan Ibnu Jama’ah

Pemberian imbalan lebih kuat dan lebih berpengaruh terhadap pendidikan anak dari pada pemberian hukuman. Sanjungan dan pujian guru dapat mendorong siswanya untuk meraih keberhasilan dan prestasi yang lebih baik. Ibnu Jama’ah lebih memprioritaskan imbalan, anggapan baik, pujian dan sanjungan. Hal ini perlu dijelaskan oleh guru bahwa pujian itu disebabkan oleh upaya dan keunggulan siswa tersebut, sehingga siswa dapat memahaminya.

Ibnu Jama’ah sangat menghindar dari penerapan hukuman yang dapat menodai kemuliaan manusia dan merendahkan martabatnya. Jadi hukuman itu merupakan bimbingan dan pengarahan perilaku serta pengendaliannya dengan kasih sayang. Hukuman perlu diberikan dengan landasan pendidikan yang baik dan ketulusan dalam bekerja, bukan berlandaskan kebencian dan kemarahan.


D. PRINSIP-PRINSIP PEMBERIAN PENGHARGAAN DAN HUKUMAN

1. Prinsip-Prinsip Pemberian Penghargaan

Pertama, penilaian didasarkan pada ’perilaku’ bukan ’pelaku’. Untuk membedakan antara ’pelaku’ dan ’perilaku’ memang masih sulit, terutama bagi yang belum terbiasa. Apalagi kebiasaan dan presepsi yang tertanam kuat dalam pola pikir kita yang sering menyamakan kedua hal tersebut. Istilah atau panggilan semacam ’anak shaleh’, anak pintar’ yang menunjukkan sifat ’pelaku’ tidak dijadikan alasan peberian penghargaan karena akan menimbulkan persepsi bahwa predikat ’anak shaleh’ bisa ada dan bisa hilang. Tetapi harus menyebutkan secara langsung perilaku anak yang membuatnya memperoleh hadiah. Jadi komentar seperti ”Kamu dikasih hadiah karena sebulan ini kamu benar-benar jadi anak shaleh”, harus dirubah menjadi ”Kamu diberi hadiah bulan ini karena kerajinan kamu dalam melaksanakan shalat wajib”.

Kedua, pemberian penghargaan atau hadiah harus ada batasnya. Pemberian hadiah tidak bisa menjadi metode yang dipergunakan selamanya. Proses ini cukup difungsikan hingga tahapan penumbuhan kebiasaan saja. Manakala proses pembiasaan dirasa telah cukup, maka pemberian hadiah harus diakhiri. Maka hal terpenting yang harus dilakukan adalah memberikan pengertian sedini mungkin kepada anak tentang pembatasan ini.

Ketiga, penghargaan berupa perhatian. Alternatif bentuk hadiah yang terbaik bukanlah berupa materi, tetapi berupa perhatian baik verbal maupun fisik. Perhatian verbal bisa berupa komentar-komentar pujian, seperti, ’Subhanallah’, Alhamdulillah’, indah sekali gambarmu’. Sementara hadiah perhatian fisik bisa berupa pelukan, atau acungan jempol.

Keempat, dimusyawarahkan kesepakatannya. Persepsi umum para orang dewasa, kerap menyepelekan dan menganggap konyol celotehan anak. Bahwa anak suka bicara ceplas-ceplos dan mementingkan diri sendiri memanglah benar, tetapi itu bisa diatasi dengan beberapa kiat tertentu. Setiap anak yang ditanya tentang hadiah yang dinginkan, sudah barang tentu akan menyebutkan barang-barang yang ia sukai. Maka disinilah ditunutut kepandaian dan kesabaran seorang guru atau orang tua untuk mendialogkan dan memberi pengertian secara detail sesuai tahapan kemamuan berpikir anak, bahwa tidak semua keinginan kita dapat terpenuhi.

Kelima, distandarkan pada proses, bukan hasil. Banyak orang lupa, bahwa proses jauh lebih penting daripada hasil. Proses pembelajaran, yaitu usaha yang dilakukan anak, adalah merupakan lahan perjuangan yang sebenarnya. Sedangkan hasil yang akan diperoleh nanti tidak bisa dijadikan patokan keberhasilannya. Orang yang cenderung lebih mengutramakan hasil tidak terlalu mempermasalahkan apakah proses pencapaian hasil tersebut dilakukan secara benar atau salah, halal atau haram.
Sebuah contoh bisa dilahat pada sekolah yang membuat buku penilaian terhadap aktifitas shalat para siswa SD selama berada di rumah. Pihak sekolah tidak memiliki cara untuk mengetahui kebenaran pengisian buku tersebut. Pihak sekolah tidak merasa penting menilai alur proses yang terjadi dalam menumbuhkan kebiasaan siswanya shalat, tetapi hanya menstandarkan pemberian hadiah pada hasil saja, yaitu bukti yang tertera dalam buku pemantauan shalat tersebut.


2. Prinsip-Prinsip Pemberian Hukuman

Pertama, kepercayaan terlebih dahulu kemudian hukuman. Metode terbaik yang tetap harus diprioritaskan adalah memberikan kepercayaan kepada anak. Memberikan kepercayaan kepada anak berarti tidak menyudutkan mereka dengan kesalahan-kesalahannya, tetapi sebaliknya kita memberikan pengakuan bahwa kita yakin mereka tidak berniat melakukan kesalahan tersebut, mereka hanya khilaf atau mendapat pengaruh dari luar.

Memberikan komentar-komentar yang mengandung kepercayaan, harus dilakukan terlebih dahulu ketika anak berbuat kesalahan. Hukuman, baik berupa caci maki, kemarahan maupun hukuman fisik lain, adalah urutan prioritas akhir setelah dilakukan berbagai cara halus dan lembut lainnya untuk memberikan pengertian kepada anak.

Kedua, hukuman distandarkan pada perilaku. Sebagaimana halnya pemberian hadiah yang harus distandarkan pada perilaku, maka demikian halnya hukuman, bahwa hukuman harus berawal dari penilaian terhadap perilaku anak, bukan ’pelaku’ nya. Setiap anak bahkan orang dewasa sekalipun tidak akan pernah mau dicap jelek, meski mereka melakukan suatu kesalahan.

Ketiga, menghukum tanpa emosi. Kesalahan yang paling sering dilakukan orangtua dan pendidik adalah ketika mereka menghukum anak disertai dengan emosi kemarahan. Bahkan emosi kemarahan itulah yang menjadi penyebab timbulnya keinginan untuk menghukum. Dalam kondisi ini, tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman yang menginginkan adanya penyadaran agar anak tak lagi melakukan kesalahan, menjadi tak efektif.

Kesalahan lain yang sering dilakukan seorang pendidik ketika menghukum anak didiknya dengan emosi, adalah selalu disertai nasehat yang panjang lebar dan terus mengungkit-ungkit kesalahan anak. Dalam kondisi seperti ini sangat tidak efektif jika digunakan untuk memberikan nasehat panjang lebar, sebab anak dalam kondisi emosi sedang labil, sehingga yang ia rasakan bukannya nasehat tetapi kecerewetan dan omelan yang menyakitkan.

Keempat, hukuman sudah disepakati. Sama seperti metode pemberian hadiah yang harus dimusyawarahkan dan didiologkan terlebih dahulu, maka begitu pula yang harus dilakukan sebelum memberikan hukuman. Adalah suatu pantangan memberikan hukuman kepada anak, dalam keadaan anak tidak menyangka ia akan menerima hukuman, dan ia dalam kondosi yang tidak siap. Mendialogkan peraturan dan hukuman dengan anak, memiliki arti yang sangat besar bagi si anak. Selain kesiapan menerima hukuman ketika melanggar juga suatu pembelajaran untuk menghargai orang lain karena ia dihargai oleh orang tuanya.

Kelima, tahapan pemberian hukuman. Dalam memberikan hukuman tentu harus melalui beberapa tahapan, mulai dari yang teringan hingga akhirnya jadi yang terberat. Untuk itu kita perlu merujuk kepada al-Qur’an, seperti apa konsep tahapan hukuman yang dibicarakan disana. Salah satu jenis kesalahan yang ditereangkan secara jelas tahapan hukumannya adala mengenai istri nusyuz.
Difirmankan Allah dalam surat An-Nisa ayat 34:

…wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Adapun Ibnu Jama’ah memandang bahwa hukuman kependidikan dapat diberikan dalam empat tahapan. Jika siswa melakukan perilaku yang tidak dapat diterima, guru dapat mengikuti empat tahapan berikut:

a. Melarang perbuatan itu didepan siswa yang melakukan kesalahan tanpa menyebutkan namanya

b. Jika anak tidak menghentikan, guru dapat melarangnya secara sembunyi-sembunyi, misal dengan isyarat.

c. Jika anak tidak juga menghentikannya, guru dapat melarangnya secara tegas dan keras, agar yang dia dan teman-temannya menjauhkan diri dari perbuatan semacam itu.

d. Jika anak tidak kunjung menhentikannya, guru dapat mengusirnya dan tidak memperdulikannya.

3. Keseimbangan Penghargaan dan Hukuman

Segala sesuatu perlu ukuran, perlu keseimbangan. Yaitu proporsi ukuran yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Belum tentu ukuran tersebut harus berbagi sama. Keseimbangan imbalan dan hukuman pun tidak berarti harus diberikan dalam porsi sama, satu-satu.

Yang akan dipakai sebagai standar keseimbangan adalah sama seperti standar yang dipergunakan Allah SWT dalam memberikan pahala dan dosa bagi hamba-hambaNya. Seperti kita ketahui, Allah menjanjikan pahala bagi manusia, untuk sekedar sebuah niat berbuat baik. Manakala niat itu diwujudkan dalam bentuk sebuah amal, Allah akan membalasnya dengan pahala yang bukan hanya satu, melainkan berlipat ganda. Sebaliknya, Allah mempersulit pemberian dosa bagi hambaNya. Nita untuk bermaksiat belumlah dicatat sebagai dosa, kecuali niat itu terelaksana, itupun bisa segera Dia hapuskan ketika kita segera beristigfar.

Keseimbangan inilah yang harus kita teladani dalam memberikan imbalan dan hukuman kepada anak. Kita harus mengutamakan dan mempermudah memberikan penghargaan dan hadiah kepada anak dan meminimalkan pemberian hukuman.

Metode pemberian hukuman adalah cara tekhir yang dilakukan, saat sarana atau metode lain mengalami kegagalan dan tidak mencapai tujuan. Saat itu boleh melakukan penjatuhan hukuman. Dan ketika menjatukan hukuman harus mencari waktu yang tepat serta sesuai dengan kadar kesalahan yang dilakukan.

REWARD

Maka, keduanya memakan buah pohon itu. Lalu, tampaklah bagi keduanya auratnya. Mulailah keduanya menutupi dengan daun-daun (yang di surga). Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah dia. Kemudian, Tuhan memilihnya. Dia menerima tobat dan memberinya petunjuk. Allah berfirman, Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama. Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu siapa saja yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. (QS. Tha Ha : 122-123).

Makna di atas menurut hemat penulis menuntun, mengarahkan dan menjadikan kita sebagai manusia untuk berpikir dan memaknai hikmah. Ketika Nabi Adam melakukan kesalahan, Nabi Adam memperoleh hukuman dan ketika Nabi Adam bertaubat, Allah yang maha luas pengampunannya itu mengampuni dan Allah memberi petunjuk menuju jalan yang benar. Kajian ini kalau dicermati bahwa sesungguhnya Allah memberikan reward kepada siapapun yang melakukan kebaikan, dan bertaqwa.
Pandangan pendidikan mulai berubah, hasil beberapa peneliti yang beranggapan bahwa reward dalam pendidikan itu tidak perlu lagi. Hal ini berbeda dengan pandangan pendidikan lima tahun yang lalu. Pandangan pendidikan lima tahun yang lalu beranggapan bahwa mendidik sangat diperlukan adanya reward. Dua tematik yang berbeda dalam kurun waktu yang relatif muda. Alasan pandangan pendidikan itu tidak perlu reward itu karena pendidikan itu merupakan kebutuhan bagi peserta didik. Dengan adanya reward dikhawatirkan anak akan melakukan sesuatu itu karena hadiah atau penghargaan atau pujian dan ketika itu tidak diperoleh maka anak tidak akan termotivasi. Pandangan itu sekilas ada benarnya.
Hasil penelitian kualitatif itu sifatnya sangat temporer dan situasional, artinya apabila penelitian dilakukan hanya di satu tempat maka validitas dan reliabilitasnya tidak dapat dijamin kebenarannya. Pada tempat yang berbeda dan komunitas yang berbeda akan berbeda pula. Bahkan dalam generasi yang berbeda juga akan berubah. Yang penulis maksud dari pemikiran tidak perlu adanya reward berdasarkan hasil penelitian itu perlu dilakukan penelitian lanjutan minimal mengaji secara seksama.
Sampai detik ini penulis masih sependapat dengan hasil penelitian masa lalu yang banyak mengungkapkan bahwa dalam menumbuhkan motivasi perlu adanya reward. Allah memberikan reward rezeki 700 kali dari apa yang manusia infaqkan ke jalan Allah. Allah akan memberikan reward surga bagi manusia yang bertaqwa dan senantiasa berbuat baik. Ini bukti ilmiah yang dapat menguatkan perlunya reward. Penulis khawatir orang-orang yang sependapat dengan pemikiran tidak perlunya adanya reward, tanpa mengaji dan menelaah pemikiran itu lebih dalam. Tumbuhnya motivasi instrinsik manusia itu dapat berasal dari berbagai situasi, bisa jadi manusia termotivasi karena pujian, termotivasi karena hadiah, termotivasi karena penghargaan, termotivasi karena ucapan terima kasih dan masih banyak lagi yang lain, hal itu sangat manusiawi.
Seorang pegawai akan rajin bekerja ada beberapa hal yang membuat dirinya menjadi termotivasi untuk bekerja keras. (1). Seorang pegawai akan bekerja keras karena lingkungan kerja nyaman, aman dan tenang. (2). Seorang pegawai akan bekerja keras karena dihargai harkat dan martabatnya. (3). Seorang pegawai akan bekerja keras karena diperhatikan oleh pimpinannya. (4). Seorang pegawai akan bekerja keras karena diperhatikan jaminan hidupnya. Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk motivasi dapat digali. Hal ini pararel dengan bagaimana mendidik siswa. Peserta didik juga perlu perhatian, pujian, penghargaan dan reward-reward lainnya.
Menjadikan anak bermartabat bukan berarti hilangnya reward. Anak bertabat karena dididik dan dibina dengan baik, sehingga proses pendidikan yang baik dan penuh teladan itulah yang akan menumbuhkan jati diri anak untuk menjadi manusia yang bermartabat. Dalam penilaian dan pengukuran hasil belajar siswa terdapat aspek-aspek penilaian yang sarat dengan reward. Perubahan pandangan ini bukan berarti penulis anti-memandang perubahan ini. Pendapat manusia dan hasil penelitian sosial itu terpotensi berubah setiap saat, jadi bagi penulis apabila kajian dari beberapa hasil penelitian tentang tidak perlunya reward itu benar menurut keyakinan penulis, ya penulis tidak menampik kebenaran itu, tetapi sampai detik ini penulis masih meyakini bahwa reward itu perlu dalam pendidikan. Apa yang menjadi keyakinan dalam membangun pendidikan penulis yakin semata-mata untuk membangun generasi yang tangguh. Saran penulis jika hendak melakukan perubahan kajilah dengan seksama, dan hati-hati. Sikap kita, keputusan kita dan kebijakan kita dalam mendidik generasi adalah satu kemuliaan apabila kita benar dan tepat, tetapi apabila sikap kita, keputusan kita dan kebijakan kita salah, ingatlah bahwa satu generasi akan menanggung dosa dari kesalahan kita. Semoga kita dapat menjadi pendidik yang senantiasa mendapat petunjuk dari Allah SWT, dan menjadi khalifah yang senantiasa benar dan tepat dalam membuat kebijakan, keputusan. Amin,..