Jumat, 11 November 2011

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Satuan Pendidikan :SMP MUHAMMADIYAH 08 MEDAN
Mata Pelajaran : Al-Qur’an
Pokok Bahasan : Hukum Nun Mati dan Tanwin
Kelas / Semester : VII / Dua
Waktu : 2 x 40 menit

A. Standar Kompetensi.
Memahami hukum Nun Mati dan Tanwin

B. Kompetensi Dasar.
1.1 Menjelaskan hukum bacaan nun mati/tanwin
1.2 Membedakan hukum bacaan nun mati/tanwin
1.3 Menerapkan hukum bacaan nun mati/tanwin dalam bacaan surat-surat Al-Qur’an
dengan benar.

C. Indikator Kompetensi.
1. Siswa mampu menuliskan tulisan Nun mati/Tanwin
2. Siswa mampu mengerti macam-macam bacaan Nun mati/tanwin
3. Siswa mampu menunjukkan perbedaan macam-macam bacaan Nun mati/tanwin
4. Siswa mampu membedakan cara membaca macam-macam bacaan Nun mati/tanwin
5. Siswa mampu memberi contoh bacaan Nun mati/tanwin

D. Tujuan Pembelajaran
Diharapkan:
1. Siswa mampu menjelaskan bacaan Nun mati/Tanwin
2. Siswa mampu mengerti macam-macam bacaan Nun mati/tanwin
3. Siswa mampu menunjukkan perbedaan macam-macam bacaan Nun mati/tanwin
4. Siswa mampu membedakan cara membaca macam-macam bacaan Nun mati/tanwin
5. Siswa mampu memberi contoh bacaan Nun mati/tanwin

E. Materi Ajar.
a) Imla’ (dikte) ayat Al-Qur’an
b) Menjelaskan hukum bacaan nun mati/tanwin
c) Menjelaskan macam-macam bacaan nun tanwin/tanwin
d) Membaca Alquran

F. Metode Pembelajaran
1. Interactive Lecturing
2. Resitasi (pemberian tugas)





G. Kegiatan Pembelajaran

No Kegiatan
1.





2








3.








4













Kegiatan Inti.
1) Eksplorasi
a) Guru menjelaskan materi pengantar
b) Siswa mendengarkan penjelasan guru tentang nun mati/tanwin
c) Siswa menulis ayat Al-Qur’an (imla’)

2) Elaborasi
a) Meminta peserta didik untuk menulis ayat Al-Qur’an yang akan di dikte (imla’) di selembar kertas.
b) Meminta salah satu peserta didik untuk membacakan ayat Al-Qur’an yang telah ditulis pada selembar kertas.
c) Panggillah sukarelawan untuk menuliskan ayat Al-Qur’an yang telah di dikte (imla’) di papan tulis
d) Meminta peserta didik untuk mengoreksi tulisan teman yang di tulis pada papan tulis

1) Konfirmasi
a) Guru meminta siswa untuk mencari bacaan nun mati/tanwin dari ayat Al-Qur’an yang telah ditulis
b) Guru meminta siswa untuk menyebutkan hasil pencariannya
c) Guru meminta siswa mendemonstrasikan cara membaca bacaan yang telah dicari pada ayat Al-Qur’an
d) Guru meminta siswa untuk membedakan antara bacaan nun mati atau tanwin (sesuai dengan macam-macamnya) pada ayat Al-Qur’an telah ditulis.

Penutup.
1) Guru menyampaikan kesimpulan materi pelajaran
2) Guru memberikan tugas kepada siswa untuk membuat contoh bacaan nun mati/tanwin pada yang ada pada Al-Qur’an
3) Mengakhiri pembelajaran




H. Penilaian.
1. Jenis : Tes / non tes
2. Bentuk : Uraian/ esai/ obyektif tes
3. Instrumen : Soal/pertanyaannya dan kunci jawabannya

I. Sumber Belajar.
1. Depatemen Agama, Al Qur’an dan Terjamahnya, Departemen Agama, Jakarta.
2. AS’AD HUMAM ,Cara Cepat Belajar Tajwid Praktis.


Medan, 11 November 2011


Kepala Sekolah Guru Pamong
SMP MUHAMMADIYAH 08 MEDAN
Rusli S,Ag
Dra. Asmawati


Guru PPL

Fadlan Norizam

Selasa, 18 Oktober 2011

KEUTAMAAN MEMBACA DAN MENGKAJI AL-QURAN

1)sebaik-baik kamu adalah orang yang belajar al-quran dan mengajarkannya(bukhari).
2)orang yang membaca al-quran sedangkan ia mahir melakukannya, kelak mendapat tempat di surga bersama-sama dengan rasul-rasul yang mulia lagi baik, sedangkan orang yang membaca al-quran tetapi dia tidak mahir(belum lacar), dia akan mendapat dua pahala(bukhari dan muslim)
3)bacalah al-quran karena dia kan datang pada hari kiamat sebagai juru syafaat bagi pembacanya(muslim)
4)tidak bisa iri hati, kecuali kepada dua orang seperti:seseorang yang diberi Allah swt pengetahuan tentang al-quran dan diamalkannya sepanjag malam dan siang, dan orang yang dianugerahi Allah swt harta kemudian dia menafkahkannya sepajang malam dan siang(bukhari muslim)
5)barang siapa membaca satu huruf kitab Allah,maka dia mendapat pahala satu kebaikan sedangkan satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipat. aku tidak mengatakan aliflammim satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf , dan mim satu huruf(tirmidzi)
6)barang siapa membaca al-quran,dan mengamalkan isinya,Allah akan memakaikan pada kedua orangtuanya di hari kiamat suatu mahkota yang sinarnya lebih bagus daripada sinar matahari di rumah-rumah dunia, maka bagaimana tanggapanmu terhadap orang yang mengamalkan ini(abu dawud)

Senin, 17 Oktober 2011

Bukti Cinta Kepada Rasulullah Saw

Seorang pedagang kaki lima di salah satu gang sempit kota Kairo, ketika dia ditanya: "Apa yang akan kamu lakukan seandainya Rasulullah Saw. ada di hadapanmu saat ini..??"., ia tidak menjawab, hanya senyum sebentar, lalu menunduk sambil menangis..
Ajaran Rasulullah Saw. yg mencakup teologi, nilai-nilai moral dan ketinggian akhlak, tidaklah diajarkan dan hanya bisa diterapkan pada masa beliau hidup, namun ajarannya berlaku dan dapat diterapkan kapanpun, selaras sebagai pedoman manusia sepanjang zaman.

Oleh karena itu, meneladani sosok Rasulullah Saw., kita tidak perlu harus kembali dan mengembalikan segalanya ke masa beliau hidup, tapi bagaimana kita bisa membawa nilai ajarannya dan meneladaninya di masa kita saat ini hidup.

Michael H. Hart, penulis buku paling kontroversial "The 100 Most Influential Persons in History", yang menempatkan Rasulullah Saw. di urutan pertama, menerangkan bahwa Muhammad Saw. adalah sosok yang bertanggung jawab terhadap teologi Islam maupun prinsip moral dan etiknya, yang bahkan sampai 14 abad setelah meninggalnya, ajarannya masih merasuk kuat di hati para pengikutnya.

Kaitannya dengan meneladani sosok Rasulullah saw., dari ungkapan jujur Hart di atas, kita dapat memperjelas bahwa tidak ada prinsip moral dan etiknya yang dapat bertahan kuat 14 abad kecuali memang prinsip moral dan etiknya tersebut bisa berlaku untuk diteladani sepanjang zaman.

Kembali ke pedagang kaki lima di awal, dengan melihat sikapnya yang lantas menangis setelah ditanya tentang pertanyaan yang -sebenarnya- sederhana, kita bisa melihat betapa masih kuatnya figur Rasulullah Saw.. Lantas bagaimanakah dengan kita jika diajukan pertanyaan yang serupa..?

"Seandainya Rasulullah Saw. berada di hadapan kita saat ini, apa yang akan kita lakukan...?? Seandainya Rasulullah saw. berada di hadapan kita saat ini, masihkah kita bertahan dalam kejahiliyahan; merokok, berpakaian primitif yang mengumbar aurat, dls...???

Semoga kita masih mempunyai rasa malu dengan hanya membayangkan Rasulullah Saw. berada di hadapan kita. Malu yang kemudian dapat membawa kita lebih menjaga diri untuk terus berusaha meneladani sosok agung ini. Dan semoga dengan rasa cinta ini, nanti kita termasuk orang yang bisa bersanding di sisi Rasulullan Saw. dan mendapatkan syafa'atnya di hari perhitungan kelak..(http://www.scribd.com/doc/34483722/Rpp-Aqidah-Kelas-VIII-KTSP)

Rabu, 08 Juni 2011

Belalang Dalam Kotak

Kisah belalang dalam kotak ini mungkin sudah anda dengar sebelumnya. Saya teringat kembali tentang kisah ini setelah melihat segelintir orang yang ternyata tidak bisa menghargai orang lain.

Setelah diteliti, ternyata sikapnya tersebut hanya untuk menutupi kelemahan yang ada dalam dirinya. Dan celakanya ia benar-benar tidak bisa bangkit untuk memperbaiki kelemahannya. Ia terkurung dalam kotak semu yang ada dalam pikirannya. Saya jadi merasa kasihan melihatnya....

Seekor belalang A yang telah lama terkurung dalam sebuah kotak, suatu hari berhasil keluar dari kotak yang mengurungnya. Dengan gembira ia melompat-lompat menikmati kebebasannya. Diperjalanan dia bertemu dengan belalang B, namun dia keheranan mengapa belalang B itu bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh darinya.

Dengan penasaran ia menghampiri belalang B itu dan bertanya, "Mengapa kau bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh, padahal kita tidak jauh berbeda dari usia ataupun bentuk tubuh ?".

Belalang B pun menjawabnya dengan pertanyaan "Dimanakah kau selama ini tinggal ? Karena semua belalang yang hidup di alam bebas pasti bisa melakukan seperti yang aku lakukan." Saat itu belalang A baru tersadar bahwa selama ini kotak itulah yang membuat lompatannya tidak sejauh dan setinggi belalang lain yang hidup di alam bebas.

Kadang-kadang kita sebagai manusia, tanpa sadar, pernah juga mengalami hal yang sama dengan belalang A. Lingkungan yang buruk, hinaan, masa lalu yang buruk, kegagalan yang beruntun, perkataan teman atau pendapat tetangga seolah membuat kita terkurung kotak semu yang membatasi semua kelebihan kita.

Lebih sering kita mempercayai mentah-mentah apapun yang mereka voniskan kepada kita tanpa pernah berpikir benarkah Anda separah itu? Bahkan lebih buruk lagi, kita lebih memilih mempercayai mereka daripada mempercayai diri sendiri.

Tidakkah Anda pernah mempertanyakan kepada nurani bahwa Anda bisa "melompat lebih tinggi dan lebih jauh" kalau Anda mau menyingkirkan "kotak" itu ? Tidakkah Anda ingin membebaskan diri agar Anda bisa mencapai sesuatu yang selama ini Anda anggap diluar batas kemampuan Anda ?

Beruntung sebagai manusia kita dibekali Tuhan kemampuan untuk berjuang, tidak hanya menyerah begitu saja pada apa yang kita alami. Karena itu teman, teruslah berusaha mencapai apapun yang Anda ingin capai.

Sakit memang, lelah memang... tapi bila Anda sudah sampai di puncak semua pengorbanan itu pasti akan terbayar. Kehidupan Anda akan lebih baik kalau hidup dengan cara yang anda pilih. Bukan cara hidup seperti yang mereka pilihkan untuk Anda.http://www.facebook.com/ILOVEALLAH.ILOVEFAMILI

Rabu, 01 Juni 2011

BUKTI CINTA PADA NABI MUHAMMAD.SAW

Kewajiban Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24). Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.”[1] Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah wajib.

Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya. Allah Ta’ala berfirman,

النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. Al Ahzab: 6). Syihabuddin Al Alusi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan sesuatu dan tidak ridho pada umatnya kecuali jika ada maslahat dan mendatangkan keselamatan bagi mereka. Berbeda dengan jiwa mereka sendiri. Jiwa tersebut selalu mengajak pada keburukan.”[2] Oleh karena itu, kecintaan pada beliau mesti didahulukan daripada kecintaan pada diri sendiri.

‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu. Lalu Umar berkata, ”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata,

لاَ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ

”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, ”Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).”[3]

Mengapa Kita Harus Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Mencintai seseorang dapat kembali kepada 2 alasan :

Alasan pertama: berkaitan dengan sosok yang dicintai

Semakin sempurna orang yang dicintai, maka di situlah tempat tumbuhnya kecintaan. Sedangkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam adalah manusia yang paling luar biasa dan sempurna dalam akhlaq, kepribadian, sifat dan dzatnya. Di antara sifat beliau adalah begitu perhatian pada umatnya, begitu lembut dan kasih sayang pada umatnya. Sebagaimana Allah Ta’ala mensifati beliau dalam firman-Nya,

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

”Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)

Alasan kedua: berkaitan dengan faedah yang akan diperoleh jika seseorang mencintai nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara faedah tersebut adalah:

[1] Mendapatkan manisnya iman

Dari Anas radhiyallahu ’anhu , Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

“Tiga perkara yang membuat seseorang akan mendapatkan manisnya iman yaitu: Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya; mencintai saudaranya hanya karena Allah; dan benci kembali pada kekufuran sebagaimana benci dilemparkan dalam api.”[4]

[2] Akan menjadikan seseorang bersama beliau di akhirat

Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.”[5]

Dalam riwayat lain, Anas mengatakan, “Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).” Anas pun mengatakan, “Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.”[6]

[3] Akan memperoleh kesempurnaan iman

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Seseorang tidaklah beriman (dengan sempurna) hingga aku lebih dicintainya dari anak dan orang tuanya serta manusia seluruhnya.”[7]

Dengan dua alasan inilah tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.[8]

Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallaM
Pertama: Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa pun

Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk pilihan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِى هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِى مِنْ بَنِى هَاشِمٍ

“Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah yang terbaik dari keturunan Isma’il. Lalu Allah pilih Quraisy yang terbaik dari Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang terbaik dari Quraisy. Lalu Allah pilih aku sebagai yang terbaik dari Bani Hasyim.”[9]

Di antara bentuk mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari siapa pun yaitu apabila pendapat ulama, kyai atau ustadz yang menjadi rujukannya bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang didahulukan adalah pendapat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”[10]

Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى (1) مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (2) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)

”Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 1-4)

Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Di antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah memuji beliau dengan pujian yang layak baginya. Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang diberikan oleh Rabb-nya dan pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang paling utama adalah shalawat dan salam kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

“Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak bershalawat kepadaku.”[11]

Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang pada petunjuknya.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”.” (QS. Ali Imron: 31)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (ajaran Nabi) itu sudah cukup bagi kalian. Semua amalan yang tanpa tuntunan Nabi (baca: bid’ah) adalah sesat .”[12]

Kelima: Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Sesungguhnya berhukum dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah salah satu prinsip mahabbah (cinta) dan ittiba’ (mengikuti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam). Tidak ada iman bagi orang yang tidak berhukum dan menerima dengan sepenuhnya syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang keluar dari ajaran dan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah telah bersumpah dengan diri-Nya yang disucikan, bahwa dia tidak beriman sehingga ridha dengan hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala yang diperselisihkan di antara mereka dari perkara-perkara agama dan dunia serta tidak ada dalam hati mereka rasa keberatan terhadap hukumnya.”[13]

Keenam: Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Membela dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu tanda kecintaan dan pengagungan. Allah Ta’ala berfirman,

لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr: 8)

Di antara contoh pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti diceritakan dalam kisah berikut. Ketika umat Islam mengalami kekalahan, Anas bin Nadhr pada perang Uhud mengatakan, ”Ya Allah, aku memohon ampun kepadamu terhadap perbuatan para sahabat dan aku berlepas diri dari-Mu dari perbuatan kaum musyrik.” Kemudian ia maju lalu Sa’ad menemuinya. Anas lalu berkata, ”Wahai Sa’ad bin Mu’adz, surga. Demi Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku mencium bau surga dari Uhud.” ”Wahai Rasulullah, aku tidak mampu berbuat sebagaimana yang diperbuatnya,” ujar Sa’ad. Anas bin Malik berkata, ”Kemudian kami dapati padanya 87 sabetan pedang, tikaman tombak, atau lemparan panah. Kami mendapatinya telah gugur dan kaum musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak ada seorang pun yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya yang mengenalinya dari jari telunjuknya.”[14]

Bentuk membela Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengharuskan beberapa hal, di antaranya:

[1] Membela para sahabat Nabi –radhiyallahu ’anhum-

Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِي فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

”Janganlah mencaci maki salah seorang sahabatku. Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak menyamai satu mud (yang diinfakkan) salah seorang mereka dan tidak pula separuhnya.”[15]

Di antara hak-hak para sahabat adalah mencintai dan meridhoi mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr: 10)

Sungguh aneh jika ada yang mencela sahabat sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah (Syi’ah). Mereka sama saja mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik dan selainnya rahimahumullah mengatakan, “Sesungguhnya Rafidhah hanyalah ingin mencela Rasul. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu jelek, maka berarti sahabat-sahabatnya juga jelek. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu sholih, maka sahabatnya juga demikian.”[16] Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun Rafidhah, maka merekalah orang-orang yang sering mencela sahabat Nabi dan perkataan mereka. Hakikatnya, apa yang ada di batin mereka adalah mencela risalah Muhammad.”[17]

[2] Membela para isteri Nabi, para Ummahatul Mu’minin –radhiyallahu ’anhunna-

Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela Abu Bakr, maka ia pantas dihukum cambuk. Siapa saja yang mencela Aisyah, maka ia pantas untuk dibunuh.” Ada yang menanyakan pada Imam Malik, ”Mengapa bisa demikian?” Beliau menjawab, ”Barangsiapa mencela mereka, maka ia telah mencela Al Qur’an karena Allah Ta’ala berfirman (agar tidak lagi menyebarkan berita bohong mengenai Aisyah, pen),

يَعِظُكُمَ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur: 17)”[18]

Ketujuh: Membela ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam

Termasuk membela ajaran beliau shallallahu ’alaihi wa sallam ialah memelihara dan menyebarkannya, menjaganya dari ulah kaum batil, penyimpangan kaum yang berlebih-lebihan dan ta’wil (penyimpangan) kaum yang bodoh, begitu pula dengan membantah syubhat kaum zindiq dan pengecam sunnahnya, serta menjelaskan kedustaan-kedustaan mereka. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah mendo’akan keceriaan wajah bagi siapa yang membela panji sunnah ini dengan sabdanya,

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَهُ فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ

“Semoga Allah memberikan kenikmatan pada seseorang yang mendengar sabda kami lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya. Betapa banyak orang yang diberi berita lebih paham daripada orang yang mendengar.”[19]

Kedelapan: Menyebarkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Di antara kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ialah berkeinginan kuat untuk menyebarkan ajaran (sunnah)nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً

“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.”[20] Yang disampaikan pada umat adalah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.

Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah dengan Berbuat Bid’ah

Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa di antara bukti cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan menyebarkan sunnah (ajaran) beliau. Oleh karenanya, konsekuensi dari hal ini adalah dengan mematikan bid’ah, kesesatan dan berbagai ajaran menyimpang lainnya. Karena sesungguhnya melakukan bid’ah (ajaran yang tanpa tuntunan) dalam agama berarti bukan melakukan kecintaan yang sebenarnya, walaupun mereka menyebutnya cinta.[21] Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[22]

Kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan tunduk pada ajaran beliau, mengikuti jejak beliau, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan serta bersemangat tidak melakukan penambahan dan pengurangan dalam ajarannya.[23]

Contoh cinta Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang keliru adalah dengan melakukan bid’ah maulid nabi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.”[24]

Pandangan Ulama Ahlus Sunnah Tentang Maulid Nabi

[Pertama] Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy membawakan pasal “Di bulan Rabi’ul Awwal dan Bid’ah Maulid”. Dalam pasal tersebut, beliau rahimahullah mengatakan, “Bulan Rabi’ul Awwal ini tidaklah dikhusukan dengan shalat, dzikr, ‘ibadah, nafkah atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan yang di dalamnya terdapat hari besar Islam seperti berkumpul-kumpul dan adanya ‘ied sebagaimana digariskan oleh syari’at. … Bulan ini memang adalah hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya beliau. Bagaimana seseorang bersenang-senang dengan hari kelahiran beliau sekaligus juga kematiannya[?] Jika hari kelahiran beliau dijadikan perayaan, maka itu termasuk perayaan yang bid’ah yang mungkar. Tidak ada dalam syari’at maupun dalam akal yang membenarkan hal ini.

Jika dalam maulid terdapat kebaikan,lalu mengapa perayaan ini dilalaikan oleh Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, dan sahabat lainnya, juga tabi’in dan yang mengikuti mereka [?] Tidak disangsikan lagi, perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan orang-orang sufi, orang yang serakah pada makanan, orang yang gemar menyiakan waktu dengan permainan sia-sia dan pengagung bid’ah. …”

Lalu beliau melanjutkan dengan perkataan yang menghujam, “Lantas faedah apa yang bisa diperoleh, pahala apa yang bisa diraih dari penghamburan harta yang memberatkan [?]”[25]

[Kedua] Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal dengan Al Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Beliau memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid fil Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan Maulid)”.

Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari Al Kitab dan As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah (teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari pendapat para ulama terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan, yang sangat digemari oleh orang yang senang menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat pula disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau mau dikatakan maulid masuk di mana dari lima hukum taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), maka yang tepat perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’ (kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah). Karena yang namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah dirayakan oleh sahabat, tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku terhadap hal ini. Dan tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena yang namanya bid’ah dalam agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin- tidak bisa disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan terlarang atau haram.”[26]

Penutup

Cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah dengan merayakan Maulid. Hakikat cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti (ittiba’) setiap ajarannya dan mentaatinya. Semakin seseorang mencintai Nabinya maka dia juga akan semakin mentaatinya. Dari sinilah sebagian salaf mengatakan:

لهذا لما كَثُرَ الأدعياء طُولبوا بالبرهان ,قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ

Tatkala banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk mendatangkan bukti. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imron: 31).[27] Orang yang cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu hanya mau mengikuti ajaran yang beliau syariatkan dan bukan mengada-ada dengan melakukan amalan yang tidak ada tuntunan, alias membuat bid’ah.

Rabu, 18 Mei 2011

REWARD AND PUNISHMENT

Ditinjau dari perspektif pendidik, Reward & Punishment bisa dipandang sebagai salah satu alat pendidikan yang dapat digunakan pendidik untuk menyampaikan materi (bahan) pendidikan kepada peserta didik. Dalam perspektif ini kita mengasumsikan bahwa pendidiklah yang aktif menggunakannya sebagai alat, dan peserta didik berada dalam posisi pasif. Hal ini utamanya terjadi pada peserta didik tingkat awal. Tetapi jika kita memandangnya dari perspektif peserta didik, maka Reward & Punishment adalah metode yang dapat dia gunakan mendorong (memotivasi) dirinya dalam menguasai materi pendidikan. Di sini peserta didik berada pada posisi aktif, dan lazimnya berada dalam status pendidikan tingkat menengah dan tinggi, dimana peserta didik akan menggunakan metoda Reward & Punishment dengan tujuan memaksimalisir perolehan Reward dan meminimalisir Punishment.
Akan tetapi, ‘Abdurrahman al-Nahlawi memandang metode sebagai salah satu alat pendidikan.

Ada dua jenis alat dalam penilaiannya.
Pertama, wasa’ith al-tarbiyah yaitu, alat-alat material atau manusia yang mempunyai pengaruh terhadap pendidikan, seperti pendidik, keluarga, madrasah, masjid, san lain-lain.
Kedua, wasa’il al-tarbiyah atau alat-alat maknawi psikis, yaitu metode-metode yang digunakan dalam menyampaikan ilmu. Al-Nahlawi kemudian membagi metode pendidikan menjadi dua, yang pertama dia sebut alat preventif (termasuk perintah, nasihat, dorongan, dan pembiasaan, dimana dorongan dapat dipandang sebagai salah satu bentuk reward) dan yang kedua alat kuratif (termasuk larangan, ancaman, dan hukuman).,
Rasulullah s.a.w. mencontohkan sejumlah metode dalam penyampaian pendidikan Islam, termasuk di dalamnya metode Reward & Punishment.
Dalam ayat 31 surat an-Najm dikemukakan adanya metode pujian bahwa orang-orang yang berbuat baik akanmendapatkan kebaikan pula dari Allah yang bertujuan memberikan kegembiraan kepada peserta didik (manusia) sebelum memulai kehidupan selanjutnya (pembelajaran). Dengan kata lain metode ini bertujuan merangsang motivasi peserta didik (manusia) untuk lebih bergairah dan bersemangat dalam mengikuti (kehidupan) pembelajaran atau proses pendidikan yang dia terima.

Dalam Psikologi Islam, motivasi dimaknai sebagai kunci utama dalam melahirkan dan menafsirkan perbuatan manusia yang disebut niyyah dan ‘ibadah. Niyyah merupakan pendorong utama manusia untuk berbuat atau beramal, sedangkan ‘ibadah merupakan tujuan manusia dalam berbuat atau beramal. Maka perbuatan manusia, termasuk dalam proses pendidikan, berada pada lingkaran niyyah dan ‘ibadah.
I. TERJEMAHAN
“Dan hanya kepunyaan ALLAH-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang melakukan kejahatan dengan hukuman atas perbuatan mereka sendiri, dan supaya membalas orang-orang yang melakukan kebaikan dengan pahala yang lebih baik”. (Q.S. An-Najm [53]:31)
Secara umum ayat ini memaparkan:
a. Segala sifat kesempurnaan disandang Allah SWT semata dan semuanya hanya milik Allah.
Pengakuan akan kepemilikan Allah atas apa yang ada di langit dan di bumi tersebut akan memberikan kekuatan dan pengaruh terhadap masalah akhirat yang ada dalam hati manusia. Zat yang menciptakan dan menakdirkan akhirat adalah zat yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Maka, dialah yang berkuasa untuk membalas. Dialah semata yang menguasai segala sarananya. Allah swt yang memiliki kesemuanya itu, antara lain ialah orang yang tersesat dan orang yang mendapat petunjuk. Disini Allah memiliki peran yang sangat berkuasa, karena melirik pada kata “apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi”. Berarti memiliki makna bahwa apapun yang ada di langit dan apaun yang ada di bumi semua Allah yang menguasainya termasuk makhluk seperti kita.

b. Kebebasan memilih sesuatu hal perbuatan
Allah sendiri yang menciptakan serta berhak mengaturnya semua berada di dalam genggaman kekuasaannya. Sehingga kalau dia menghendaki, niscaya semua akan beriman dan memeluk agamanya, tetapi itu tidak dia kehendaki, karena dia telah memberi manusia kebebasan memilih dam supaya Dia memberi balasan yakni hukuman (punishment) yang setimpal kepada orang-orang yang berbuat jahat disebabkan apa yang telah mereka kerjakan dan member balasan berupa anugerah-Nya (reward) kepada orang-orang yang berbuat baik dengan ganjaran yang lebih baik yakni surge yang tidak terlukiskan dengan kata-kata keindahan dan kenikmatannya.

Itulah salah satu reward (ganjaran) dan punishment (hukuman) bagi manusia di dunia ini. Siapa yang berbuat baik maka akan mendapatkan reward berupa ganjaran dari Allah dan sebaliknya, siapa yang berbuat jahat maka akan mendapatkan punishment berupa hukuman atau teguran dari Allah supaya cepat bertobat dan meninggalkan kebatilan.

Perlu diketahui bahwa dalam surat an-Najm ayat 31 ini memberi informasi bahwa apabila ingin hidup baik dan tenang maka berbuat baiklah dan jauhi kejahatan, dan apabila ingin hidupnya berada dalam kegelisahan maka berbuatlah kejahatan, karena Allah tidak memaksa silahkan lakukan apa saja yang mau dilakukan asal tanggung akibatnya, krena dalam dalam ayat 38-nya mengandung arti bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.

c. Kabar dan informasi bagi manusia
Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya bahwa semua yang dilakukan manusia di dunia tanpa terkecuali, sekecil apapun, memiliki konsekuensi di akhirat kelak. Semua kebaikan memperoleh ganjaran positif berupa pahala, dan semua hal buruk yang dilakukan akan menimbulkan dosa dan mendapat hukuman yang setimpal. Allah SWT memastikan hal itu dalam berbagai firman-Nya. Seperti:

Dan tidaklah kamu berada dalam suatu keadaan dan tidak dalam membaca suatu ayat dari Al Qur'an dan kamu tidaklah mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Q.S. 10 : 61)

Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (Q.S. 24 : 24)

Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. (Q.S. 36 : 65)

Ketiga ayat di atas menjadi landasan bagaimana proses kehidupan umat manusia senantiasa berlangsung di bawah pengawasan Penciptanya, dan segala yang dilakukan manusia sepanjang hidupnya adalah bentuk aktivitas yang harus dipertanggungjawabkan dan pasti akan memperoleh balasan.

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (Q.S. 99 :7-8)

Bentuk pertanggungjawaban yang dimaksud akan berimplikasi kepada bentuk paling akhir dari penghargaan dan hukuman yang akan diterima manusia kelak, yaitu sorga sebagai reward dan neraka sebagai punishment.

d. Tercantumnya tuntutan dan tuntunan
Dalam al-Qur’an berulang-ulang disebutkan bahwa kerjakanlah kebaikan dan jauhi kebathilan agar selamat dunia dan akhirat. Itulah alas an kenapa Rasulullah saw menyeru umatnya untuk beribadah kepada Allah, menyeru melakukan kebaikan dan meninggalkan perbuatan yang jahat. Rasulullah sebagai makhluk yang dianggap sebagai panutan karena kemuliaan akhlak dan prilakunya sehari-hari. Pantaslah beliau dijadikan acuan dalam sunahnya setiap apa yang beliau ucapkan, yang beliau kerjakan baik amalan-amalan siang dan malam dijadikan sebagai sunnah yang mendapatkan sebuah reward berupa pahala sunnah.

Dalam ayat ini terdapat tuntutan yaitu siapa yang ingin hidupnya senang dan damai di ridhai Allah maka kerjakan kebaikan, tetapi apabila kesenangan dan kedamaian itu tidak diharapkan kerjakanlah kejahatan apabila mampu mendapatkan punishment dari Allah berupa hukuman atau teguran.

Tuntunannya terdapat beberapa pernyataan yaitu: Pertama, bahwa Allah-lah yang mempunyai semua ini termasuk yang ada dilangit dan dibumi serta isinya, maka janganlah sombong dan merasa paling benar dan berkuasa. Kedua, balasan kepada orang yang berbuat jahat, sesuai dengan apa yang dilakukannya yaitu berupa hukuman(punishment). Ketiga,balasan kebaikan bagi orang-orang yang berbuat baik. Jadi janganlah berbuat kejahatan tapi berusahalah berbuat kebaikan, karena sedikitpun kebaikan pasti akan dapat balasannya.


IV. TAFSIR SECARA KONTEKSTUAL
Pada dasarnya pendidikan dalam Islam berlangsung seumur hidup, sehingga tidak salah menyebut bahwa proses kehidupan umat manusia adalah sama dan sebangun dengan proses pendidikan itu sendiri. Sebagaimana proses kehidupan memerlukan Pengawas, mempersyaratkan pertanggungjawaban dan memperoleh balasan, demikian pulalah adanya proses pendidikan. Maka metode reward dan punishment ini dapat dilakukan pada semua manusia sebagai peserta didik dan tidak menutup kemungkinan pula bagi seorang pendidik.

a. Mengabarkan bahwa Allah yang mengatur dan yang memiliki semuanya (the information of technic for all).

Kalimat menjelaskan
Sesungguhnya apa saja yang ada dilangit dan apa pun yang ada di bumi semuanya berada dibawah genggaman dan kekuasaan Allah. Dialah yang telah menciptakan, memiliki dan mengaturnya. Maka Dialah Yang Maha Tahu tentang semua itu tanpa ada sesuatu pun urusan yang tersembunyi bagi Allah. Oleh karena itu, kita jangan berprasangka bahwa Allah melalaikan urusan kita semua. Allah pasti akan memberi balasan kepada setiap jiwa sesuai dengan kebaikan atau keburukan yang manusia lakukan.

Dalam kalimat ini, Allah mengabarkan bahwa Dialah yang memiliki langit dan bumi. Dan sesungguhnya, Dia mahakaya, tidak membutuhkan pihak lain. Yang Maha menetapkan hukum pada hamba-hamba-Nya dengan adil dan yang telah menciptakan makhluk dengan benar .

Apabila di qiaskan dalam aktifitas pengajaran di sekolah, guru mempunyai peran penting dan berkuasa dalam kelas, mulai dari penyampaian materi sampai evaluasi semuanya di atur dan di manage secara baik lewat rancangan-rancangan materi yang telah disusun secara terstruktur dan sistematis. Apabila siswa belajar dengan rajin dan selalu berbuat baik, maka siswa tersebut akan mendapat balasan dari gurunya berupa nilai yang baik.

Ayat ini tidak memandang kepada siapa-siapa, yang dititikberatkan hanya kepada orang yang memang mau mendengarkan dan menerima serta mengakui bahwa al-quran sebagai wahyu dan pedoman bagi umat manusia. Maksud ”memiliki” dalam ayat 31 ini selain yang ada dilangit dan dibumi salah satunya ialah orang yang tersesat dan orang yang mendapat petunjuk, karena Dia menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya pula .

Pada ayat sebelumnya (ayat 30) menjelaskan bahwa Allah lebih mengetahui siapa yang sesat dan siapa yang berada dalam petunjuk . Ini menandakan bahwa manusia bukan berarti menyatakan hak milik mutlak pribadinya tetapi manusia itu adalah yang dipunyai bukan mempunyai, manusia hidup di dunia hanyalah sebatas memiliki bukan memiliki sebenarnya karena Allah-lah yang maha memiliki semuanya. Maka manusia hidup di dunia jangan umaing dan umagung karena ini semua milik Allah SWT. Dapat juga dipahami sebagai penjelasan lebih lanjut tentang pengetahuan Allah menyangkut siapa yang sesat dan siapa yang berada dalam petunjuk yang disebut dalam penggalan ayat lalu. Seakan-akan kedua penggalan itu menyatakan Allah mengetahui kedua pihak, betapa pun tidak, sedang dia memiliki apa yang dilangit dan dibumi.

Atau dapat juga dipahami, penggalan ayat diatas merupakan uraian baru untuk mengisyaratkan bahwa perintah mengabaikan para pembangkang itu, bukanlah berarti bahwa Allah pun akan mengabaikan mereka tanpa memberi balasan yang setimbal, karena Allah Maha Kuasa, dia sendiri yang memiliki segala sesuatu di langit dan di bumi.



b. Pemberian hukuman (punishment)
Kalimat Dari sudut kepemilikan Allah tersebut, terwujudlah pembalasan yang sempurna dan adil, Supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang melakukan kejahatan. Pertimbangan dalam pemberian punishment adalah cobaan kepada umat manusia dalam kapasitasnya sebagai peserta didik, apakah ia dapat melatih kesabarannya jika menemui kegagalan atau kendala dalam proses pembelajaran. Dapatkah ia bersikap ridha? Atau mampukah ia mengendalikan diri dengan bersyukur jika cobaan yang datang adalah dalam bentuk prestasi yang menggembirakan. Salah satu kewajiban peserta didik menurut Al-Ghazali adalah membersihkan jiwa dari sifat-sifat negatif.
Hukuman dengan cara yang berlebihan dan diikuti oleh tindakan kekerasan tidak pernah diinginkan oleh siapapun, apa lagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Namun tidak bisa ditampik, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan.

Hukuman tidak mutlak diperlukan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdullah Nasih Ulwan bahwa untuk membuat anak jera, pendidik harus berlaku bijaksanan dalam memilih dan memakai metode yang paling sesuai. Di antara mereka ada yang cukup dengan teladan dan nasehat saja, sehingga tidak perlu hukuman baginya. Tetapi, manusia itu tidak sama seluruhnya, diantara mereka ada pula yang perlu dikerasi atau dihukum yaitu mereka yang berbuat kesalahan.

Asumsi yang berkembang selama ini di masyarakat adalah setiap kesalahan harus memperoleh hukuman; Tuhan juga menghukum setiap orang yang bersalah. Dari satu jalur logika teori itu ada benarnya. Memang logis, setiap orang yang bersalah harus mendapat hukuman; setiap yang berbuat baik harus mendapat ganjaran. Sebenarnya hukuman tidak selalu harus berkonotasi negatif yang berakibat sengsara bagi terhukum tetapi dapat juga bersifat positif.
Karena itu, mengapa orang tidak mengambil teori yang lebih positif? Bukankah Allah selalu mengampuni orang yang bersalah apabila dia bertaubat pada-Nya? Allah juga lebih mendahlukan kasih-Nya dan membelakangi murka-Nya. Dalam Qs. Ali Imran: 134 Allah memuji orang yang sanggup menahan marah dan suka memberi maaf. Dan dalam satu hadist, nabi Muhammad Saw mengajarkan bahwa Allah menyenangi kelembutan dalam semua persoalan (HR. Bukhari).
Dengan demikian kita bisa menyepakati bahwa kesalahan yang dilakukan oleh murid terkadang pantas mendapat hukuman. Namun jenis hukuman itulah yang seharusnya disesuaikan dengan lingkungan sekolah sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran, bukan penghakiman.
Dalam teori belajar (learning theory) yang banyak dianut oleh para behaviorist, hukuman (punishment) adalah sebuah cara untuk mengarahkan sebuah tingkah laku agar sesuai dengan tingkah laku yang diharapkan. Dalam hal ini, hukuman diberikan ketika sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan ditampilkan oleh orang yang bersangkutan atau orang yang bersangkutan tidak memberikan respon atau tidak menampilkan sebuah tingkah laku yang diharapkan.
Sebagai contoh, di sekolah-sekolah berkelahi adalah sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan dan jika tingkah laku ini dilakukan oleh seorang siswa maka salah satu cara untuk menghilangkan tingkah laku itu adalah dengan hukuman. Selain itu, mengerjakan tugas sekolah adalah sebuah tingkah laku yang diharapkan, dan jika seorang siswa lalai dan tidak mengerjakan tugas sekolah maka agar siswa itu dapat menampilkan tingkah laku yang diharapkan maka hukuman adalah satu cara yang digunakan untuk mengatasinya.
Hukuman diartikan sebagai salah satu tehnik yang diberikan bagi mereka yang melanggar dan harus mengandung makna edukatif, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mdzakkir. Misalnya, yang terlambat masuk sekolah diberi tugas untuk membersihkan halaman sekolah, yang tidak masuk kuliah diberi sanksi membuat paper. Sedangkan hukuman pukulan merupakan hukuman terakhir bilamana hukuman yang lain sudah tidak dapat diterapkan lagi. Hukuman tersebut data diterapkan bila anak didik telah beranjak usia 10 tahun, tidak membahayakan saraf otak peserta didik, serta menjadikan efek negatif yang berlebihan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw yang artinya
“Dari Amr bin Syu’aib ayahnya dari kakeknyaK bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Dawud).
Paul Chanche mengartikan hukuman adalah
“The procedure of decreasing the likelihood of a behavior by following it with some azersive consequence”
(Prosedur penurunan kemungkinan tingkah laku yang diikuti dengan konsekuensi negatif)
Decreasing the likelihood yang dimaksud di sini adalah penurunan kemungkinan dan tingkah laku dan some aversive concequence adalah konsekuensi negatif atau dampak yang tidak baik baik si pelanggar. Sebagai contoh, Ani tidak boleh menonton TV ketika maghrib tiba (dari jam 18.00-19.00). Apabila tetap menonton maka Ani akan di hukum tidak boleh menonton TV selama 3 hari. Tidak boleh menonton TV ketika maghrib tiba di sini sebagai prosedur atau aturan-aturan yang harus diikuti. Bentuk penurunan tingkah lakunya adalah boleh menonton TV selain di waktu itu, dan sebagai konsekuensi negatif apabila melanggar akan dihukum tidak boleh menonton TV selama 3 hari.
Jadi, hukuman di sini berlaku apabila seseorang merasa enggan untuk mengikuti suatu aturan yang berimbas pada penurunan tingkah laku.
Sedangkan M. Arifin telah memberi pengertian hukuman adalah:
“Pemberi rasa nestapa pada diri anak akibat dari kelasahan perbuatan atau tingkah laku anak menjadi sesuai dengan tata nilai yang diberlakukan dalam lingkungannya.”
Pendidik harus tahu keadaan anak didik sebelumnya dan sebab anak itu mendapat hukuman sebagai akibat dari pelanggaran atau kesalahannya. Baik terhadap aturan-aturan yang berlaku dalam lingkungan anak didik atau norma yang terdapat dalam ajaran agama Islam.Dalam menggunakan hukuman, hendaknya pendidik melakukannya dengan hati-hati, diselidiki kesalahannya kemudian mempertimbangkan akibatnya.
Penggunaan hukuman dalam pendidikan Islam kelihatannya mudah, asal menimbulkan penderitaan pada anak, tetapi sebenarnya tidak semudah itu tidak hanya sekedar menghukum dalam hal ini hendaknya pendidik bertindak bijaksana dan tegas dan oleh Muhammad Quthb dikatakan bahwa : “Tindakan tegas itu adalah hukuman”.
Dari beberapa pengertian di atas dapat kita ambil kesimpulan sementara bahwa hukuman dalam pendidikan Islam adalah salah satu cara atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau pendidik kepada seseorang yang menimbulkan dampak yang tidak baik (penderitaan atau perasaan tidak enak) terhadap anak didiknya berupa denda atau sanksi yang ditimbulkan oleh tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan agar anak didik menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya agar tidak mengulanginya lagi dan menjadikan anak itu baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Metode Punishment digunakan sesuai perbedaan tabiat dan kadar kepatuhan manusia terhadap prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah Islam. Pengaruh yang dihasilkannya tidaklah sama. Punishment bersandar pada dorongan rasa takut dan karena itu sifatnya negatif. Penerapan punishment ditujukan untuk memperbaiki peserta didik yang melakukan kesalahan sekaligus memelihara ketertiban dan disiplin peserta didik lainnya dari kemungkinan melakukan kesalahan yang sama. Karenanya dapat dikatakan bahwa punishment adalah alternatif terakhir setelah metode nasihat dan peringatan tidak berhasil memperbaiki peserta didik. Karena tujuan utama pemberian punishment ini adalah merubah dari perbuatan jelek menjadi baik. Dalam surat ar-Ra’d ayat 11 menyatakan bahwa



sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.

Dalam hal penerapan punishment, haruslah disadari bahwa peserta didik memiliki kesiapan yang berbeda-beda dalam hal kecerdasan ataupun respons yang dihasilkan dari penerapan punishment tersebut. Ada peserta didik bertemperamen tenang dan apa pula yang bertipe emosional, yang semuanya disebabkan oleh berbagai macam faktor, seperti genetika, lingkungan dan kematangan yang berbeda-beda. Berdasarkan perbedaan itu, maka berbeda pulalah jenis punishment yang diterapkan. Ada yang cukup dengan sindiran, ada yang perlu dipandang dengan muka masam, ada yang harus dibentak, dan ada pula yang perlu harus dipukul. Dalam hal ini prinsip logis yang harus ditetapkan, dalam arti punishment disesuaikan pula dengan jenis kesalahan. Ibn Khaldun mengemukakan bagaimana diperlukannya prinsip kehati-hatian dalam penerapan metode punishment ini terutama bagi peserta didik yang termasuk kategori anak-anak . Menurutnya, kesalahan dalam penerapan metode tersebut merupakan bentuk pengajaran yang merusak yang berimplikasi kepada hadirnya rasa rendah diri pada diri peserta didik, menumbuhkan kemalasan dan kebencian tanpa disadari, serta menyebabkan anak-anak tidak berani mengemukakan hal yang benar. Dengan demikian pendidik justru telah mendidik anak untuk berbohong. Semisal anak yang terlambat datang setelah mengemukakan alasan yang sebenarnya tetap saja dimarahi gurunya. Hasilnya, jika pada kesempatan lain ia kembali terlambat, ia akan mencari alasan lain yang “lebih masuk akal” agar tidak dimarahi, meski yang disampaikannya bukan hal yang sebenarnya. Keadaan ini lama kelamaan akan mengendap dalam alam bawah sadar anak dan berkembang menjadi kebiasaan baru baginya. Metode pendidikan yang salah seperti itu dalam skala massif telah menghasilkan bangsa yang tidak bisa dipercaya di seluruh dunia, yaitu bangsa Yahudi.

Berdasar hal itu Ibnu Khaldun menggagas, pendidik tidak boleh memberikan hukuman fisik lebih dari tiga kali kepada anak-anak kecil. Hanya saja tidak dijelaskan batasan tiga kali itu, apakah dalam satu tahun atau selama anak berada di bawah didikan guru tersebut. Senada dengan Ibn Khaldun, Al-Ghazali pun menegaskan bahwa saran dan nasehat akan lebih baik dari peringatan keras, sikap positif lebih efektif daripada caci-maki. Sebab saran dan kebaikan akan mendorong peserta didik memikirkan tingkah lakunya serta merenungkan nasehat pendidik, sebaliknya kritik yang kasar justru mempertipis rasa malu, mengundang perlawanan dan menyebabkan peserta didik menjadi keras hati. Adapun Rasulullah s.a.w. sendiri melarang memukul anak-anak di bawah usia 10 tahun, sebagaimana dapat difahami dari hadis hasan berikut yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Abu Daud Ibnu ‘Amr bin ‘Ash r.a.

“Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika enggan ketika mereka berusia sepuluh tahun , dan pisahkanlah antara mereka ketika mereka tidur.”
Dari hadits tersebut, apabila seorang anak yang mendekati akil balig, maka harus segera diperintahkan sholat. Apabila si anak belum juga mau melakukan sholat maka

c. Memotivasi dengan pemberian hadiah (reward)
Kalimat
memberikan pengertian bahwa adanya reward (balasan yang baik, penghargaan, hadiah) dalam pendidikan islam. Allah akan membalas kepada orang-orang yang berbuat baik. Maka kalimat ini perlu adanya penegasan dalam arti dengan apa Allah akan membalas maka setelah ahsanu ( ) disusul dengan kata yang maksud- nya adalah Allah akan membalas orang-orang yang berbuat baik dengan kebaikan pula, yaitu syurga. Maka balasan berupa syurga itulah yang dimaksud dengan reward dari Allah.

Sebelum lebih jauh membahas tafsir tentang metode reward dalam
Pendidikan islam alangkah lebih baiknya kita bahas dahulu pengertian dari reward.
a. Pengertian Reward
Secara bahasa, reward berarti hadiah, upah, ganjaran, atau penghargaan.
Secara Istilah, pemberian konsekuensi berupa hal yang menyenangkan untuk mengatur tingkah laku seseorang.
Dalam perspektif islam, reward muncul dengan beberapa istilah, antara lain ganjaran, balasan (QS. Al-Waqiah: 24), dan pahala.
Dilakukan sebagai usaha untuk memberikan sebuah motivasi dalam melakukan sesuatu sehingga siswa merasa adanya tantangan untuk melakukan respon positif.

b. Bentuk Reward
Penggunaan reward dapat dilakukan dengan dua bentuk, yaitu: berupa materi dan immateri.
Reward berupa materi yaitu reward yang diapresiasikan dengan berupa materi semata. Seperti cerita berikut ini.

Ibu Rini khawatir Lisa (anaknya) tidak naik kelas saat masih SD. Menjelang ujian akhir, ibu Rini menjanjikan Lisa sebuah komputer (reward) apabila dapat naik kelas. Dari kecil Lisa pun terbiasa untuk belajar demi mendapatkan hadiah, alhasil Lisa selalu naik kelas. Namun, saat Lisa kuliah di jurusan Ekonomi UI, ibunya tidak lagi menganggap bahwa Lisa memerlukan suatu “reward” agar ia mau belajar sungguh-sungguh. Ternyata, di tahun pertama kuliah, mata kuliah yang diikuti Lisa hampir tidak lulus semua. Lisa pun sama sekali tidak termotivasi untuk belajar dan memahami kuliah yang diikutinya. Ternyata, saat memilih jurusan kuliah, Lisa dijanjikan sebuah hadiah (reward) apabila ia dapat masuk ke fakultas Ekonomi UI.

Berdasarkan certa diatas bahwa pemberian reward berupa materi dapat memberikan masalah/ dampak baru bagi diri anak. Reward dengan komputer termasuk salah satu dari reward berupa materi

Sedangkan reward berupa immateri yaitu reward yang berupa non materi, melainkan lebih pada sebuah tanda penghargaan sebagai bukti atas prestasi atau apa yang telah dia lakukannya. Contohnya seperti pemberian piagam atau sertifikat kepada seorang siswa yang memiliki nilai istimewa.

c. Cara Pemberian Reward
Biasanya kata-kata memberikan reward terucap pada saat orang tua ingin menghilangkan kebiasaan kemalasaan atau untuk mendorong prestasi anak. Akan tetapi “Hati-hati dalam memberikan reward!”. Pemberian reward ini selain akan berdampak positif juga akan bisa berdampak negatif. Memang apabila anak dijanjikan sebuah reward berupa materi, anak akan merasa termotivasi, tapi setelah reward tidak diberikan lagi, maka si anak akan kehilangan semangatnya. Seperti contoh pada cerita diatas.
Pemberian reward dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Secara langsung (disegerakan)
Contoh: Ketika seseorang melakukan sesuatu hal yang positif dan sesuai dengan tujuan yang dimaksud. Maka penghargaan (reward) diberikan langsung kepadanya dengan segera. Contoh lain, siswa setelah melakukan presentasi maka guru dan teman yang lainnya memberikan tepuk tangan sebagai penghargaan bagi siswa yang telah melakukan presentasi.

2. Secara tidak langsung (ditunda)
Contoh: Seperti pada contoh diatas, reward diberikan apabila si anak telah dapat mencapai tujuan. Sebelum mencapai tujuan yang diharapkan maka reward belum bisa diberikan.
d. Tujuan dan Manfaat Pemberian Reward
Tujuan utama pemberian reward yaitu supaya anak merasa tertantang atau termotivasi untuk mendapatkan sesuatu hadiah. Banyak manfaat yang apabila reward tersebut diberikan secara efektif, diantarany yaitu:
1. Memberikan kegembiraan kepada peserta didik sebelum memulai pembelajaran,
2. Memotivasi peserta didik untuk bergairah dan bersemangat.
Dari uraian diatas jelas bahwa Allah dalam menciptakan sesuatu pasti ada sebab dan akibatnya. Seperti yang sedang kita bahas dalam makalah ini. Reward dan punishment merupakan salah satu metode untuk merubah prilaku dengan konsekuensi yang seimbang.

Dalam Q.S. Az-Zalzalah [99] ayat 7-8 berbunyi:



”Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”.
Bentuk pertanggungjawaban dimaksud akan berimplikasi kepada bentuk paling akhir dari penghargaan dan hukuman yang akan diterima manusia kelak, yaitu sorga sebagai reward dan neraka sebagai punishment

Dalam Hadits rasul juga tercantum berupa hukuman (punishment), yaitu“kalau salah seorang dari kalian (terpaksa harus) memukul, maka hendaklah tidak memukul bagian wajah” (HR. Abu Dawud)

Pendidikan Islam memiliki rangkaian unsur-unsur yang saling terkait yang diperlukan dalam mewujudkan keberhasilannya. Unsur-unsur tersebut antara lain tujuan, kurikulum, materi, metode, sarana, alat, dan pendekatan. Setiap unsur dapat dibagi lagi dalam rincian yang lebih detil, termasuk di dalamnya metode. Rasulullah s.a.w. mencontohkan sejumlah metode dalam penyampaian pendidikan Islam, termasuk di dalamnya metode Reward & Punishment.